Usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) dinilai memegang peran besar untuk pertumbuhan perekonomian
Indonesia dan Afrika. Fakta ibmencuat di
acara Indonesia-Africa Forum (IAF) Ke-2 yang berlangsung pada 1-3 September
2024 di Nusa, Dua, Bali.
Berdasarkan data Kementerian
Koperasi dan UKM pada 2023, di Indonesia jumlah UMKM mencapai 66 juta. Ini
mendominasi jumlah keseluruhan unit usaha dengan total 99 persen.
Adapun kontribusi UMKM
mencapai 61 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang setara
Rp9.580 triliun. UMKM juga menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97 persen
dari total tenaga kerja yang ada di tanah air.
Kontribusi besar UMKM terhadap
pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Afrika
pun setali tiga uang.
Kerja sama Keuangan
Internasional Afrika mencatat bahwa UMKM mencakup hingga 90 persen dari semua
bisnis di pasar Afrika. Ini sekaligus menjadi salah satu sumber utama lapangan
kerja.
Sama dengan di Indonesia, UMKM
Afrika tetap tangguh setelah menghadapi gangguan ekonomi yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Akibat pandemi COVID-19 sembari tetap optimistis tentang
pertumbuhan yang akan datang.
Meskipun memiliki peranan yang
begitu besar, UMKM, baik di Indonesia dan Afrika sama-sama harus dihadapkan
dalam sejumlah tantangan. Di Indonesia, UMKM memerlukan bantuan untuk
menciptakan inovasi dan teknologi, peningkatan produktivitas, akses pasar dan
pemasaran, perizinan, hingga standarisasi dan sertifikasi.
Africa Union juga mencatat
bahwa UMKM di negara-negara Afrika juga memerlukan jembatan untuk mengatasi
kesenjangan kredit. Termasuk penguatan rantai nilai, peningkatan produktivitas
melalui digitalisasi, adopsi teknologi, dan adaptasi, hingga pelatihan khusus
UMKM.
Guru Besar Program Pasar
Berkembang di Dyson School, UC AS, Iwan Jaya Azis, mengakui bahwa UMKM berhasil
menyediakan lapangan pekerjaan informal bagi masyarakat di Indonesia. Di saat
sektor formal termasuk sektor swasta belum mampu menampung tingginya jumlah
usai pekerja.
Namun, peningkatan
produktivitas merupakan satu-satunya indikator keberlanjutan bisnis UMKM. Ia
mencatat, baik di Asia dan Afrika, realokasi tenaga kerja dari sektor yang
produktivitasnya rendah ke sektor industri terhenti pada awal tahun 2000-an.
Sejak saat itu, sebagian besar
realokasi tenaga kerja beralih ke sektor jasa. “Jika UKM di Indonesia maupun di
Afrika dapat lebih produktif, itu akan menjadi jawaban pada tahun-tahun
mendatang," ucapnya dalam Sesi Ke-2 IAF.
"Jadi, yang terpenting
bukanlah menciptakan lapangan kerja atau menciptakan lapangan kerja. Melainkan
lebih kepada bagaimana meningkatkan produktivitas,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengurai sejumlah tantangan UMKM yang harus
terlebih dahulu sebelum UMKM bisa meningkatkan produktivitasnya dan menjadi
usaha yang berkelanjutan. Tantangan pertama adalah penyederhanaan kerangka regulasi.
Pemerintah, kata dia, baik di
Indonesia dan Afrika, berperan menyediakan regulasi yang tepat dalam
mengembangkan UMKM. Satu hal yang pasti, UMKM tidak dapat dibebankan dengan
perizinan yang berlebihan dan dihadapkan pada terlalu banyak regulasi.
Alasannya, UMKM bahkan tidak
mampu mengurus bisnis sendiri, banyak yang tidak paham cara mencatat pembukuan
keuangan. Akibatnya, jika dibebankan dengan banyaknya proses perizinan, maka
pelaku UKM tidak akan dapat mengembangkan bisnis.
“Jadi, kita perlu mengatasi
hal ini dengan sangat jelas. Dan sebenarnya, Pemerintah Indonesia telah memulai
dengan undang-undang penciptaan lapangan kerja (Omnibus Law)," ujarnya.
"Kita telah mulai
mengkaji reformasi struktural. Dalam membuat segalanya jauh lebih mudah bagi
UKM,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment