Kendati menghadapi sejumlah gejolak ekonomi dunia pascapandemi Covid-19 dan dampak perang antarnegara, perekonomian Indonesia relatif terkendali sepanjang tahun 2023 ini. Dengan capaian ini, Indonesia tetap optimistis menghadapi tantangan perekonomian global 2024 yang masih penuh ketidakpastian.
Hingga pengujung tahun ini, panorama ekonomi Indonesia menggambarkan kinerja yang cukup positif. Kondisi tersebut tecermin dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi nasional.
Sepanjang tiga triwulan 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata berada di kisaran 5 persen. Besaran ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global pada tiga triwulan terakhir yang hanya sekitar 2,9 persen. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 berada pada kisaran 4,5 persen-5,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang relatif terkendali itu disertai pula dengan kualitas pertumbuhan yang relatif baik. Salah satunya tecermin dari besaran inflasi nasional yang relatif terkontrol. Inflasi Indonesia hingga November 2023 terkendali pada level 2,86 persen, jauh di bawah rata-rata inflasi global yang mencapai 7,2 persen.
Indikator berikutnya terlihat dari kewajiban pemerintah terhadap utang-utangnya. Nilai total utang Pemerintah Indonesia pada akhir November 2023 mencapai Rp 8.041,01 triliun atau 38,11 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kendati total utang pemerintah itu menembus rekor tertinggi baru, rasionya terhadap PDB turun dibandingkan dengan periode 2021-2022.
Parameter yang cukup baik selanjutnya adalah kurs rupiah yang relatif terjaga. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini bergerak dinamis dengan besaran nilai tukar antara Rp 14.693 dan Rp 15.927 per dollar AS. Pada awal tahun, nilai tukar rupiah sulit meninggalkan level psikologis Rp 15.000 karena adanya sentimen, baik dari pasar domestik maupun global, yang turut mewarnai pergerakan nilai rupiah sepanjang tahun berjalan.
Relatif terkendalinya kurs rupiah itu tak lepas dari terjaganya cadangan devisa nasional. Pada akhir Oktober 2023, cadangan devisa terjaga pada besaran 133,1 miliar dollar AS. Nominal ini setara dengan pembiayaan impor selama 6,1 bulan atau pembayaran cicilan utang dan sekaligus pembiayaan impor selama 5,9 bulan. Daya tahan cadangan devisa ini berada di atas standar kecukupan internasional yang berkisar 3 bulan impor.
Suplai cadangan devisa yang relatif cukup tersebut berkaitan erat dengan kinerja ekspor yang cenderung terjaga baik. Mengutip data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Januari-November 2023 sebesar 236,41 miliar dollar AS atau menurun 11,83 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Meski demikian, Indonesia masih mencatat surplus neraca perdagangan yang telah berlangsung selama 43 bulan terakhir. Selain itu, beberapa mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat dan India, juga masih terus meningkatkan permintaan ekspornya dari Indonesia.
Bergairahnya aktivitas ekonomi itu turut mengakselerasi penyerapan lapangan kerja di sejumlah sektor usaha. Pada kurun Agustus 2022-Agustus 2023, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 4,5 juta orang. Serapan ini mengindikasikan adanya investasi baru yang membuka sejumlah lapangan pekerjaan. Keyakinan berinvestasi ini berhubungan erat dengan optimisme para pelaku usaha dalam melihat peluang pasar di masa depan. Visi positif demikian tecermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang berada di level ekspansif sebesar 51,7 pada tahun ini. Dengan besaran PMI di atas 50, hal itu menunjukkan bahwa industri manufaktur di Indonesia cenderung terus meningkat.
Tren positif itu menunjukkan harapan yang semakin baik sehingga peluang untuk meningkatkan kemajuan ekonomi nasional kian besar, termasuk peningkatan keuntungan dalam neraca perdagangan internasional yang semakin tinggi.
Dengan kemajuan ekonomi yang kian tinggi dan merata di berbagai bidang lapangan usaha, potensi penerimaan negara juga meningkat. Hingga 12 Desember 2023, pendapatan negara tercatat Rp 2.553,2 triliun atau 103,66 persen dari target APBN yang dipatok sebesar Rp 2.463 triliun.
Jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan pada Perpres Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, realisasi pendapatan negara pada awal Desember 2023 telah mencapai 96,8 persen. Pendapatan negara tersebut diperkirakan akan mencapai target 100 persen hingga akhir tahun ini.
Meski demikian, di tengah indikator-indikator yang menunjukkan perbaikan positif tersebut, ada salah satu indikator yang kurang bersinar, yakni indikator yang terkait dengan energi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, realisasi lifting minyak bumi tahun ini tidak mencapai target yang ditetapkan. Merujuk data yang disampaikan SKK Migas, realisasi lifting minyak bumi hingga Oktober 2023 hanya 604,3 juta barel per hari (MBPOD) atau 91,6 persen dari target lifting APBN. Jumlahnya turun 0,49 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 607,3 MBOPD.
Realisasi lifting minyak bumi yang menurun itu patut diwaspadai mengingat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional yang terus meningkat hingga lebih dari 1,5 juta barel per hari. Artinya, dibutuhkan impor minyak bumi dan BBM yang besar hingga lebih dari 50 persen setiap hari guna memenuhi permintaan domestik. Hal ini sangat membebani keuangan negara dan rentan terdampak gejolak ekonomi dan geopolitik global.
Tantangan ekonomi 2024
Sejumlah indikator ekonomi nasional yang secara umum baik capaiannya pada tahun 2023 ini mencerminkan adanya optimisme pada tahun 2024. Meskipun demikian, tetap harus diwaspadai adanya ketidakpastian ekonomi dunia yang tampaknya masih akan terus berlanjut pada tahun depan.
Pada tataran global, perekonomian Indonesia bisa terdampak konflik geopolitik seperti perang Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina, memanasnya hubungan dagang Amerika Serikat-China, hingga ancaman perubahan iklim yang dapat mengganggu rantai pasok pangan.
Kondisi tersebut bisa menyebabkan negara-negara menjadi lebih inward looking atau mengutamakan kepentingan domestiknya. Kebijakan bernuansa proteksionisme dan populisme pun semakin menguat di sejumlah negara. Imbas selanjutnya bisa terjadi penurunan volume perdagangan global sehingga laju pertumbuhan ekonomi dunia pun terhambat.
Selain itu, perlambatan ekonomi China sebagai salah satu negara mitra dagang terbesar Indonesia, bahkan di ASEAN, juga akan memengaruhi kinerja atau permintaan ekspor Indonesia tahun depan.
Tekanan berat lainnya juga diperkirakan masih menghadang perekonomian global pada tahun 2024. Misalnya laju inflasi global yang masih belum kembali ke level prapandemi sehingga suku bunga acuan global masih bertahan lebih lama. Akibatnya, likuiditas global masih akan ketat sehingga biaya dana (cost of fund) juga masih tetap tinggi.
Pada tataran domestik, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi Indonesia tahun depan. Salah satunya terkait kinerja ekspor tahun 2024 yang diperkirakan akan terkontraksi. Ini dipicu oleh perlambatan ekonomi dunia yang membuat permintaan ekspor menurun. Selain itu, harga sejumlah komoditas juga akan susut.
Petugas memeriksa fisik uang dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Agung Masayu di Jakarta, Selasa (24/10/2023). Nilai tukar rupiah masih fluktutif karena situasi global. Rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada penutupan Selasa (24/10/2023) berada di level Rp 15.869 per dollar AS.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas memeriksa fisik uang dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Agung Masayu di Jakarta, Selasa (24/10/2023). Nilai tukar rupiah masih fluktutif karena situasi global. Rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada penutupan Selasa (24/10/2023) berada di level Rp 15.869 per dollar AS.
Tantangan lain datang dari potensi pelemahan nilai tukar yang berkelanjutan. Bank Indonesia melihat ada potensi pelemahan nilai tukar rupiah pada tahun 2024. Dalam Rencana Anggaran Tahunan Bank Indonesia (RATBI) 2024, potensi rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2024 sebesar Rp 15.510 per dollar AS. Rata-rata nilai tukar rupiah 2024 lebih lemah jika dibandingkan dengan prognosis rata-rata nilai tukar rupiah 2023 yang dicantumkan dalam ATBI 2023 yang sebesar Rp 15.280 per dollar AS.
Di sisi lain, pada tahun 2024 ada upaya untuk membuka peluang kebijakan moneter yang lebih longgar seiring dengan relatif terkendalinya tingkat suku bunga, stabilitas inflasi domestik, dan meredanya tekanan pasar keuangan di Indonesia. Namun, upaya ini masih terkendala oleh ketidakpastian suku bunga global yang fluktuatif sehingga otoritas moneter berada dalam kewaspadaan.
Kondisi lain yang juga perlu menjadi perhatian saksama adalah kinerja ekonomi selama periode pesta demokrasi. Pemilu 2024 berpeluang membuat perekonomian nasional berada dalam kondisi rentan. Meski aktivitas kampanye dapat mendorong konsumsi masyarakat, ketidakpastian politik dapat membuat investor mengambil sikap wait and see sehingga berdampak pada stabilitas pasar.
Proyeksi ekonomi 2024
Di tengah dinamika ekonomi global dan domestik tersebut, sejumlah lembaga internasional memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun depan relatif stabil baik. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di level 5 persen pada 2024 meski negara-negara tetangga Indonesia direvisi ke bawah proyeksi pertumbuhannya.
Dalam dokumen ”Asian Development Outlook (ADO) December 2023”, ADB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara-negara kawasan Asia Tenggara hanya di level 4,7 persen pada 2024. Besaran ini sedikit turun dari proyeksi September 2023 yang perkiraannya mencapai 4,8 persen, sedangkan untuk Indonesia diproyeksikan tetap di level 5 persen.
Menurut ADB, terjaganya laju pertumbuhan Indonesia salah satunya ditopang oleh konsumsi masyarakat yang masih tinggi dan laju inflasi yang terjaga relatif rendah. Hal itu juga didorong oleh belanja untuk kebutuhan pemilu oleh pemerintah dan partai politik.
Proyeksi perekonomian serupa juga disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh stabil di angka 5 persen pada 2023 dan 2024.
Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024-2026 berkisar 4,9 persen atau sedikit turun dari proyeksi 2023 sebesar 5 persen. Dalam laporan ”Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2023”, Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini ditopang konsumsi swasta yang kuat. Namun, kondisi pembiayaan global yang ketat memicu keluarnya arus modal dan tekanan mata uang di banyak negara, termasuk Indonesia.
Ada sejumlah faktor yang turut memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional saat ini, seperti melemahnya nilai tukar perdagangan, menurunnya harga komoditas, dan melambatnya ekonomi global yang bisa menghambat permintaan ekspor.
No comments:
Post a Comment