UU Cipta Kerja berupaya memberikan kepastian hukum dan kemudahan dengan adanya standar, khususnya terkait dengan persyaratan dan proses perizinan berusaha. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam proses perizinan berusaha.
Produk hukum yang diundangkan pada tanggal 2 November 2020 lalu ini melakukan perubahan paradigma dan konsepsi perizinan berusaha dengan melakukan penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Risk Based Approach).
“Pendekatan perizinan berbasis izin (license base) diubah ke berbasis risiko (risk based),” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Sanksi dalam Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja, Selasa (22/12) di Jakarta.
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ini menimbulkan konsekuensi dan perubahan paradigma dalam pengawasan. Semula, pengawasan lebih berfokus kepada pemenuhan persyaratan administrasi dalam mendapatkan izin. Hal ini menimbulkan beban administrasi dan birokrasi yang sangat tinggi.
Dengan penerapan kegiatan usaha berbasis risiko, maka pengawasan lebih dititikberatkan kepada pelaksanaan kegiatan usaha untuk memenuhi standar dan persyaratan suatu kegiatan. Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi secara ketat.
Perubahan konsepsi perizinan yang krusial lainnya adalah adanya NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang mengatur jenis perizinan, standar, syarat, prosedur, dan jangka waktu penyelesaian. Kesemuanya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara nasional, baik di pusat maupun daerah.
Menko Airlangga menuturkan, berbagai perubahan yang dilakukan dalam UU Cipta Kerja tidak hanya untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, tetapi juga dalam kepastian perlindungan pekerja.
“Hal ini telah mendapat sentimen postif dan apresiasi dari lembaga internasional seperti World Bank, Fitch Ratings, dan Moody’s, serta dianggap sebagai reformasi besar yang menjadikan Indonesia semakin kompetitif di pasar internasional dan domestik,” terang Menko Perekonomian.
Ia pun menggarisbawahi, upaya yang dilakukan dalam UU Cipta Kerja telah sejalan dengan perkembangan dan peran hukum dalam pembangunan nasional, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan penciptaan lapangan kerja.
“Para ahli hukum telah menggambarkan bahwa hukum dapat berperan maksimal dalam pembangunan ekonomi apabila hukum dapat menciptakan fungsi stability, predictability, dan fairness,” sambungnya.
Airlangga berpesan, penerapan konsepsi sanksi dalam UU Cipta Kerja hendaknya dapat dituangkan dengan baik dalam 44 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yaitu 40 RPP ataupun 4 RPerpres.
Sebagai informasi, peraturan pelaksanaan tersebut ditambah 2 lagi yaitu 1 RPP terkait dengan pelaksanaan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta 1 RPerpres perubahan Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly menegaskan bahwa UU Cipta Kerja telah berupaya melakukan penataan ulang terhadap pengenaan sanksi dalam berbagai UU sektor yang menerapkan sanksi pidana terhadap penyimpangan administratif.
“Terhadap hal itu, penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan administratif dikenakan sanksi administratif. Dalam hal sanksi administratif tidak dapat dijalankan, maka pengenaan sanksi pidana menjadi pilihan untuk penegakan hukum,” tutur Yasonna.
Adapun pelanggaran ketentuan UU yang menimbulkan akibat K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan) tetap dikenakan sanksi pidana.
Pengaturan pengenaan sanksi tersebut tidak hanya kepada masyarakat atau pelaku usaha, tetapi juga kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak memberikan atau melaksanakan pelayanan perizinan berusaha sesuai dengan NSPK. Selain itu, kepada ASN yang tidak melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan sesuai ketentuan
No comments:
Post a Comment