Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja resmi menjadi undang-undang setelah disetujui oleh DPR pada Selasa (21/3). Lahirnya UUU ini dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia, yaitu membuka banyak lowongan kerja untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun, masyarakat belum sepenuhnya memahami gagasan besar dari pengesahan UU Cipta Kerja.
Untuk itu, Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI) bersama dengan Communy & Co menyelenggarakan webinar bertema “UU Ciptaker untuk Siapa” dalam rangka menyosialisasikan urgensi UU Cipta Kerja bagi perekonomian nasional. Hadir sebagai narasumber antara lain Founder GCKI Ellys L. Pambayun, Sekjen BPP HIPMI Anggawira, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal, dan Stafsus Mensesneg Faldo Maldini.
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan UU Cipta Kerja memiliki kesempatan untuk perbaikan-perbaikan. Perppu dikeluarkan karena ada kerenggangan hukum dan ketidakjelasan. Investor tidak mau masuk karena tidak ada UU yang melindungi mereka. Kita butuh waktu untuk membuat PP, salah satu PP yang menjadi vocal point adalah PP Nomor 64 tahun 2021 tentang pembentukan Bank Tanah. Ada aspek-aspek keadilan yang menyertai PP tersebut.
“Harus ada perlindungan-perlindungan investasi untuk menjamin keamanan investor. UU Cipta Kerja juga mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai implementasi dari tujuan bernegara. Ada 4 kluster dari objek UU Cipta Kerja yakni komunitas masyarakat, industri/pengusaha, kampus, dan pemerintah,” kata Fithra.
Sementara, Stafsus Mensesneg Faldo Maldini menyampaikan bahwa secara garis besar banyak aturan yang dihapus terkait birokrasi yang memperlama. Dampak positif UU Cipta Kerja yakni ke UMKM dan perusahaan mikro karena mempermudah urusannya, sehingga tak perlu takut dengan birokrasi.
“Berkaitan dengan TKA, masyarakat jangan terburu-buru menilai buruk masuknya TKA karena status mereka hanya transfer of knowledge yang dibatasi perjanjian waktu dan kontrak, setelah selesai mereka akan kembali ke negaranya,” ucapnya.
Dari sisi pengusaha, Sekjen BPP HPIMI Anggawira, mengatakan kita bisa menyinkronkan satu perundangan dengan UU lain untuk menciptakan suatu regulasi. Tantangan utamanya yakni implementasi dan aturan turunannya. Yang perlu dikawal bukan pada level UU, karena sudah sangat positif. Dalam konteks penyusunan UU Cipta Kerja, stakeholder sudah dilibatkan sesuai dengan bidangnya.
“Pemerintahan Jokowi selama 2 periode banyak membuat terobosan yakni kemudahan berusaha melalui nomor induk berusaha (NIB), sehingga perorangan bisa memiliki legalitas formal. UU Cipta Kerja merupakan solusi terkait ketenagakerjaan. Selain itu, UU Cipta Kerja mengintegrasikan berbagai macam aturan istilahnya yaitu by-pass aturan. Dari sisi output, harapan UU ini dapat menyederhanakan izin usaha dan deregulasi agar efisien dari sisi bisnis,” ujarnya.
Sebagai penutup, Founder GCKI Ellys L. Pambayun, menyampaikan bahwa komunikasi yang dilakukan Pemerintah baik komunikasi publik maupun komunikasi politik harus clear. Pemerintah perlu mengakomodasi aspirasi-aspirasi masyarakat. Seperti tipikal negara yang bersifat emosional dan influentif, sehingga membutuhkan cara pemerintah untuk menyosialisasikan secara kompleks agar bisa menyentuh masyarakat.
“Pemerintah dan DPR harus memiliki paradigma alternatif karena pemerintah hanya melihat secara makro. Kita bisa mencoba government supports communication untuk mengakomodasi aspirasi dan pemikiran-pemikiran masyarakat. Membangun sebuah bentuk media dan pesan yang sifatnya pro kepada masyarakat untuk komunikasi bersama. Jadikan kaum buruh sebagai subjek dari government supports communication,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment