Tim perumus Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah mengakomodasi publik. Setidaknya, ada dua hal yang telah diakomodasi. Pertama, hal mengenai penghapusan pasal advokat curang yang merupakan bentuk apresiasi tim setelah mendengar masukan dari semua pihak. Kedua, mengenai penghapusan pasal praktik dokter yang tidak memiliki izin.
Demikian disampaikan pengamat hukum dari Universitas Jember I Gede Widhiana Suarda dalam diskusi online bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (29/8/2022).
Widhiana mengatakan ada 14 isu krusial dalam RUU KUHP yang ditolak oleh publik. Namun, berdasarkan pengamatannya, sejauh ini tim perumus dari pemerintah sudah memberikan penjelasan.
“Setelah ada penjelasan dalam berbagai sosialisasi, masyarakat umum saya lihat tidak begitu banyak yang bertanya-tanya lagi terhadap isu krusial itu. Intinya dari sosialisasi yang sudah dilakukan dan ke depan yang akan dilakukan lagi, kita akan mencoba refresh isu-su itu,” kata Widhiana.
Ia mengungkapkan tim perumus pun sudah mengantisipasi agar pasal-pasal dalam RUU KUHP tersebut tidak multitafsir atau disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Langkah yang diambil adalah dengan merumuskan norma penjelasan setiap pasalnya dan menjadi langkah awal dan utama supaya produk tersebut tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Bagian penjelasan, menurutnya, menjadi filter yang penting dan utama.
Dia mengatakan kalau dalam hal-hal tertentu, ada masyarakat yang paham bahwa suatu pasal merugikannya, maka mekanisme lain bisa ditempuh, yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Meski tidak diinginkan oleh tim perumus, ruang untuk itu tetap disediakan oleh negara.
“Yang tidak kita harapkan jangan sampai aparat ketika menggunakan RUU ini mencoba bermain-main. Ini menjadi pekerjaan rumah tentu bukan di ranah formulasi, tetapi di ranah kebijakan implementasi melalui kontrol dari institusi masing-masing mulai dari polisi, jaksa dan hakim. Presiden pun punya kewajiban untuk mengawasi kontrol institusi masing-masing bagaimana aparat jalankan KUHP ini,” terang Widhiana.
Meski demikian, dia meyakini jika tim perumus sudah menyusun norma penjelasan yang benar-benar tepat, sehingga kecil kemungkinan bagi aparat untuk menyalahgunakan undang-undang ini.
“Sudah clear di rumusan. Misalkan soal penghinaan terhadap Presiden, tentu tim bisa membedakan mana kritik dan mana penghinaan. Kalau pun terjadi kasus itu dan Presiden mengadukan, sederhana saja, datangkan saksi hal untuk mengecek apakah itu kritik atau penghinaan,” ujar Widhiana.
Dia menerangkan proses penyusunan KUHP yang baru sudah berjalan sangat lama sejak 1963, karena Indonesia ingin memiliki undang-undang yang mencerminkan norma jati diri bangsa. Dia berharap agar tahun ini, RUU tersebut dapat disahkan.
“Terlepas dari pro kontra yang ada, tidak ada pembahasan RUU yang maha sempurna. Pasti ada saja yang tidak sepakat dengan apa yang dirumuskan. KUHP tentunya sebagai cerminan nilai-nilai hukum yang ada di Indonesia,” kata Widhiana.
No comments:
Post a Comment