Opini, suaradewata.com - Usai merebaknya pasal tentang 14 isu kontroversial, pro dan kontra tentang sejumlah pasal dalam Rancana Undang- undang tentang Kitab Undang-undang HukumPidana (RUU KUHP) merupakan dinamika masyarakat sekaligus bentuk kepedulian atas kelahiran produk hukum dalam negeri. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipastikan akan memuat pasal soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej menegaskan, pemerintah tidak akan menghapus pasal tersebut dari draf RKUHP sekalipun menimbulkan perdebatan.
Satu pihak meminta penghapusan pasal tersebut dalam RUU KHPP demi prinsip kesetaraan kedudukan di muak hukum (equality before the law). Mereka jjuga mengkhawatirkan bahwa nantinya rakyat tidak bisa mengkritik dan takut ada anggapan menghina terhadap presiden atau pun wakil presiden Republik Indonesia ini. Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia atau yang sering disebut PSHK termasuk golongan yang menolak adanya rumusan RKUHP tersebut, penolakannya berdasar dengan mempertimbangkan 5 hal yaitu PSHK menilai bahwa “presiden sebagai simbol negara” dan “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah keliru. Karena, perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan. Alasan yang kedua adalah memasukkan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP tidak tepat karena presiden adalah jabatan, dan harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Dalam konstruksi itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Persoalan perihal pantas atau tidaknya cara komunikasi dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang di dalamnya berlaku sanksi sosial, sehingga tidak patut dijerat dengan sanksi pidana. Ketiga, alasan pemerintah bahwa penghapusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden akan menciptakan budaya masyarakat yang terlalu liberal, adalah argumentasi berdasarkan hipotesis yang prematur. Keempat yaitu perubahan pasal penghinaan presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi dan yang terakhir yaitu tolakan kelima berisi tentang kebijakan perumusan pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP juga tidak didampingi dengan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang memadai. Padahal, setiap penambahan satu butir pasal akan punya dampak signifikan terhadap porsi anggaran kebijakan nantinya.
Jika berbicara tentang kontra tentu ada pula yang pro kepada usulan tersebut. Namun, ada hal yang harus kita sepakati bersama bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum atas penghinaan, termasuk presiden sekalipun. Hal serupa diungkapkan oleh Prof. DR. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., selaku Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur. Prof faisal menyebutkan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 4 Ayat (1) disebutkan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, dalam Pasal 10 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dalam Pasal 13 Ayat (1) disebutkan bahwa Presiden mengangkat duta dan konsul. Selanjutnya, dalam Pasal 1 5 disebutkan bahwa Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Itu semua merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan, dan keagungan/kebesaran dari seorang kepala negara yang notabene kepala pemerintahan. Pernyataan Prof. Faisal juga diperkuat dengan adanya konklusi dari MK yang menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (Contitutional right) yang harus dilidungi. Menghina presiden dan wakil presiben sesuai ketentuan pasal 134 KUHP ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun, sedangkan sanksi maksimal pelanggaran pasal 310 KUHP adalah satu tahun empat bulan; pasal 311 dengan sanksi maksimal empat tahun; pasal 316 dengan sanksi ditambah 1/3 dari pasal sebelumnya.
Penjabaran secara konstitusional telah dilakukan, yaitu perbuatan termasuk menista dengan surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah. Jika menilisik dari azas keadilan, semua orang juga mendapatkan hak serupa. Melihat hal ini, Pencetusan pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden setra wakil presiden di RUU KUHP sudah berada di jalan yang benar mengingat adanya asas kewibawaan dalam kehidupan bermasyarakat. Asas kewibawaan itu tercermin di dalam penghormatan terhadap presiden dan wakil presiden selaku kepala negara. Kita mengakui bahwa terdapat asas kesetaraan di dalam demokrasi yang telah menjadi falsafah bangsa Indonesia. Namun, selain asas kesetaraan, masyarakat juga harus paham mengenai asas kewibawaan. Karena, sebenarnya Pemerintah dapat membedakan antara kritik dan penghinaan.
No comments:
Post a Comment