Sudah lebih dari 50 tahun upaya yang dilakukan untuk mewujudkan adanya KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) ala Indonesia. Namun upaya itu belum kelar- kelar juga. Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) KUHP) yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun, sejak awal mula di munculkan sekitar era 1980an atau jaman Orde Baru (Orba) sampai saat ini tak kunjung disahkan berlakunya.
Sudah berkali-kali mau disahkan namun berkali kali juga di tunda pengesahannya. Sehingga RUU KUHP hasil revisi sampai saat ini belum diberlakukan di Indonesia. Nasibnya masih terkatung katung tanpa jelas sampai kapan endingnya.
Apa sebenarnya alasan utama sehingga KUHP peninggalan Belanda itu harus dirombak substansinya ?. Seperti apa kilas balik perjalanan upaya pembahasan RUU KUHP di era pemerintahan yang sekarang berkuasa ?, Mengapa RUU KUHP begitu alot pembahasannya ? Mengapa pula RUU KUHP Perlu disahkan segera ?
Dalam pertimbangan draft RUU KUHP dinyatakan bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti KUHP warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Tujuannya, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.
Ahli hukum, Prof Sudharto menyebut sekurang kurangnya ada 3 (tiga) alasan pokok perlunya pembaharuan KUHP yang berlaku di Indonesia. Alasan politis, bahwasanya negara yang merdeka harus memiliki KUHP sendiri bukan hukum warisan penjajahnya.
Alasan praktis, bahwa KUHP dibuat dengan bahasa Belanda sehingga banyak penegak hukum Indonesia yang tidak mengerti atau mendalami maknanya.Sementara alasan sosiologis karena pandangan hidup masyarakat Eropa yang individualistis berbeda dengan semangat kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya.
Prof Muladi menambahkan satu alasan yaitu adaptif yang mengandung makna bahwa KUHP harus mampu mengadopsi kepentingan Internasional dalam kepentingan nasional utamanya dalam hal tindak pidana transnasional yang saat ini merajalela. Dengan demikian, RUU KUHP yang dihasilkan sekarang merupakan cerminan dari Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yang sebelumnya merupakan hasil dari hukum kolonialisme Belanda.
Hal terpenting dari sebuah pembaharuan hukum pidana adalah kualitas dan substansi RUU KUHP yang cocok dan sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian pembaruan hukum pidana melalui RUU KUHP diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan paradigma hukum pidana di Indonesia.
Dengan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, KUHP hasil revisi memang sangat ditunggu kehadirannya untuk merombak sistem dan struktur, sekaligus memperbaiki berbagai kekurangan baik yang berada pada aras normative (substansi pasal) maupun penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum - aspek yuridisnya.
Penyesuaian dengan perkembangan masyarakat, baik dari perspektif sociological jurisprudence maupun sociology of law sangat dibutuhkan demi kemajuan hukum dan masyarakat Indonesia. Atas dasar itu semua yang menjadi dasar pertimbangan sehingga KUHP yang lama harus di rombak total disesuaikan dengan nilai nilai dan semangat pembaharuan hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kilas Balik
Semangat untuk melengserkan hukum Belanda dengan hukum pidana nasional terus menggelora sejak 1980-an atau sejak era Orba. Semangat itu terus terpelihara sampai dengan pemerintah yang sekarang berkuasa.
Pembahasan RUU KUHP pada masa Presiden Jokowi periode pertama (2014-2019) ditandai dengan keluarnya Surat PresidenNomor R-35/Pres/06/2015 tertanggal 5 Juni 2015, dimana Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM RI untuk melakukan pembahasan RUU KUHP di DPR RI. Selanjutnya Supres tersebut, ditindaklanjuti Pimpinan DPR dan dibahas dalam rapat Bamus tertanggal 24 Juni 2015 dan memberikan penugasan kepada Komisi III DPR RI untuk melakukan pembahasan selanjutnya
Komisi III DPR RI menindaklanjuti penugasan tersebut dengan menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM RI pada tanggal 2 Juli 2015 untuk mendengar Keterangan Presiden mengenai RUU KUHP. Komisi III DPR RI selanjutnya melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka mencari masukan dan menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) sebagai tanggapan terhadap Naskah RUU KUHP, mengingat pentingnya masukan dari berbagai pihak terhadap RUU KUHP.
Pada tanggal 26 Oktober 2015, seluruh fraksi di Komisi III DPR RI telah menyerahkan Daftar InventarisasiMasalah (DIM), yang menandai dimulainya proses pembahasan RUU KUHP bersama Pemerintah melalui Rapat Panitia Kerja (Panja).
Panja berkomitmen dengan Pemerintah untuk memberi prioritas terhadap Pembahasan RUU KUHP sehingga dapat segera diselesaikan mengingat isi dan substansi RUU KUHP yang dinilai sangat fundamental dan memerlukan perhatian khusus karena menyangkut seluruh prinsip dan asas Hukum Pidana Nasional yang berkaitandengan Hak Asasi Manusia.
Pada kesempatan pertama, Panitia Kerja RUU KUHP bersama dengan Pemerintah telah melakukan pembahasan secara intensif dan mendalam, diantaranya dengan melakukan rapat-rapat dari tanggal 29 Oktober 2015 sampai dengan tanggal 24 Februari 2017, hal ini dilakukan mengingat begitu banyaknya permasalahan yang perlu dibahas dan diputuskan terkait dengan pasal-pasal yang ada di dalam rancangan KUHP tersebut.
Setelah selesai dilakukan pembahasan terhadap pasal-pasal yang bersifat substansi, Panja memutuskan untuk menyerahkan pembahasan ketingkat selanjutnya yakni pembentukan Tim Perumus (TIMUS) dan Tim Sinkronisasi (TIMSIN) RUU KUHP.
Selanjutnya, setelah melakukan pembahasan pasal redaksional secara komprehensif dan penuh kehati-hatian, maka TIMUS/TIMSIN melaporkan hasil-hasil yang dicapai kepada Panja pada tanggal 26 Juni 2019.
Panja bersama sama dengan Pemerintah kemudian mengagendakan pembahasan terhadap beberapa materi muatan yang belum disepakati dalam rapat Panitia Kerja sebelumnya. Substansi tersebut meliputi hukum yang hidup di masyarakat; pidana mati; penyerangan kehormatan atau harkat dan MartabatPresiden dan Wakil Presiden; tindak pidana kesusilaan; perkosaan; tindak pidana khusus; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
Panja kembali melakukan pembahasan pada tanggal 28 dan 29 Agustus 2019 serta tanggal 13 sampaidengan 15 September 2019. Dalam rapat panitia kerja tersebut, seluruh substansi berhasil disepakati oleh Panitia Kerja bersama Pemerintah.
Selanjutnya pada tanggal 18 September 2019, Panitia Kerja telah melaporkan seluruh hasil pembahasan kepada Komisi III DPR RI dan telah mendapat persetujuan untuk dibawa pada Pembicaraan Tingkat I. Seluruh Fraksi dan Pemerintah selanjutnya telah menyetujui RUU KUHP untuk dibawa pada Pembicaraan Tingkat II guna mendapat persetujuan.
Namun seperti kita ketahui bersama, pada hari-hari terakhir menjelang pengesahan di DPR, Presiden Jokowi meminta pengesahan empat RUU, termasuk RUU KUHP ditunda pengesahannya dan pembahasan kembali dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024. Hal itu dilakukan, menurutnya, agar pemerintah dan DPR bisa mendengarkan dan mengakomodasi masukan dari berbagai pihak, menyusul gelombang penolakan yang meluas dimana mana.Pada akhirnya atas permintaan tersebut, rapat paripurna DPR yang digelar Selasa (24/9/2019), juga menyepakati penundaan pengesahan RUU KUHP untuk yang kesekian kalinya.
Dengan demikian karena masih banyaknya masukan dari masyarakat terhadap kesempurnaan RUU KUHP, maka RUU KUHP belum jadi disahkan pada periode 2014-2019.Sehingga menjadi RUU Carry over untuk dibahas atau dilanjutkan pada periode 2019-2024.
Sebagai bentuk keseriusan untuk menyelesaikan RUU KUHP tersebut, Komisi III DPR RI sangat mendukung untuk segera dilakukan pembahasan dan penyelesaian RUU KUHP. Dalam kesimpulan Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM RI pada 24-25 Februari 2020, 1 April 2020, dan 22 Juni 2020 disepakati agar Komisi III DPR RI dan Menteri Hukum dan HAM RI untuk melakukan pembahasan RUU Carry Over yaitu RUU KUHP ke tahun berikutnya.
Pada tanggal 2 April 2020 Rapat Paripurna DPR RI telah menyetujui melanjutkan pembahasan RUU KUHP berdasarkan Pasal 71A Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 TentangPerubahan Atas Undang-UndangNomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Rapat Kerja terakhir dengan Menkumham pada tanggal 17 Maret 2021 yang lalu, dalam kesimpulan rapat disampaikan bahwa Komisi III DPR RI dan Menkumham RI telah bersepakat untuk melakukan reformasi terhadap system peradilan pidana terpadu melalui fungsilegislasi, dengan memprioritaskan kembali penyelesaian RUU KUHP dan RUU tentang Pemasyarakatan.
Sebagai bentuk perwujudan untuk memprioritaskan penyelesaian RUU KUHP di tahun 2021 adalah dengan memasukkannya kedalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun apa yang terjadi?. Selang enam hari kemudian tepatnya hari selasa (23/3/2021). melalui rapat paripurna, DPR mengesahkan Daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.
Anehnya dalam daftar 33 RUU prioritas yang ditetapkan tersebut, terdapat beberapa RUU yang akhirnya tidak jadi masuk prolegnas prioritas 2021.RUU itu diantaranya adalah RUU Pemilu, Revisi UU ITE, RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP.
Justru RUU yang selama ini dinilai kontroversial karena banyak mendapatkan penentangan dari masyarakat masuk ke skala prioritas Prolegnas 2021 seperti RUU tentang tentang Ibukota Negara (Omnibus Law), Undang Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), RUU MInerba, RUU revisi KPK dan RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Karena tidak masuk dalam skala prioritas Prolegnas tahun 2021 maka terkait dengan RUU KUHP hanya dilakukan kegiatan sosialisasi dan penjelasan kepada masyarakat mengenasi substansinya. Sejalan dengan itu Komisi 3 telah meminta kepada Pemerintah agar segera menindaklanjuti peraturan terkait dengan mekanisme pembahasan RUU carry over atau RUU yang masih tertunda pembahasannya.
Memasuki tahun 2022, telah DPR mengesahkan 40 RUU dimana masuk dalam Prolegnas 2022, salah satunya adalah RUU KUHPidana. Alhasil, RKUHP ini menjadi rancangan terlama yang belum juga disahkan dengan usia lebih dari 50 tahun pembahasannya.
Mengawali pembahasan RUU KUHP di tahun 2022, maka pada tanggal 25 Mei 2022 Komisi 3 melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) membahas 14 isu krusial hasil sosialisasi RUU KUHP di tahun sebelumnya.
Pasal Pasal Krusial
RUU KUHP yang ada saat ini terdiri atas 2 (dua) buku, 36 (tigapuluhenam) bab, dan 628 (enam ratus duapuluh delapan) pasal. Buku Kesatu RUU KUHP antara lain mengatur mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana termasuk di dalamnya berlakunya hukum yang hidup di masyarakat; Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana termasuk di dalamnya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi; Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan termasuk di dalamnya tujuan dan pedoman pemidanaan, pemaafan hakim, pidana dendadengan sistem kategori, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, serta diversi bagi anak; Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, sertaPengertian Istilah.
Buku Kedua RUU KUHP antara lain mengatur mengenai Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara; Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup; Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Penyelundupan Manusia, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin, Tindak Pidana terhadapTubuh, Tindak Pidana Pencurian, Tindak Pidana Pelayaran, Tindak Pidana terhadap Penerbangan dan Tindak Pidana terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan, Tindak Pidana Berdasarkan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, dan Tindak Pidana Khusus.
Beberapa isu krusial yang berkembang dan menjadi fokus pembahasan dalam RUU KUHP, antara lain tentang : Penerapan Asas Legalitas Pasif, Perluasan Pertanggungjawaban Pidana, Penerapan Doktrin Ultimum Remedium, soal Pidana Mati, masalah Rekodifikasi, Pengaturan tentangTindak Pidana Khusus dan sebagainya.
Selanjutnya melalui pembahasan yang sangat mendalam dan perdebatan yang sangat konstruktif pada akhirnya Panitia Kerja bersama Pemerintah saat itu berhasil menyepakati seluruh materi muatan tersebut sehingga RUU KUHP siap untuk disahkan segera,
Namun seperti diketahui bersama, pengesahan itu urung dilakukan karena merebaknya demo dimana mana sebagai wujud munculnya aspirasi masyarakat menyikapi RUU KUHP yang akan disahkan berlakunya.
Pengesahan RUU KUHP yang isinya memuat sejumlah pasal kontroversial ditolak ribuan mahasiswa dan aktifis yang menggelar demo di Gedung DPR, Jakarta dan banyak kota lainnya. Adapun isi pasal-pasal kontroversial di RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di berbagai kota, seperti :
- Pasal RUU KUHP soal Korupsi
- Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden
- Pasal RUU KUHP tentang Makar
- Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera
- Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi
- Pasal RUU KUHP soal Aborsi
- Pasal RUU KUHP soal Gelandangan
- Pasal RUU KUHP soal Pencabulan
- Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak
- Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba
- Pasal tentang Contempt of Court
- Pasal Tindak Pidana terhadap Agama
- Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)
Pasal pasal bermasalah seperti disebutkan diatas khususnyayang berkaitan dengan soal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal tentang Perzinaan, Pasal Tentang Mempertunjukan Alat Kontrasepsi mempertunjukan alat kontrasepsi, Pasal Pembiaran Unggas, Pasal tentang Gelandangan, Pasal Tentang Aborsi, Pasal Tindak Pidana Korupsi dan seterusnya, pada umumnya dinilai sebagai pasal karet yang bisa ditafsirkan sesuai dengan selera penegak hukumnya.
Selanjutnya sebagaimana disinggung diatas, pada tanggal 25 Mei 2022 Komisi 3 DPR telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) membahas 14 isu krusial hasil sosialisasi RUU KUHP di tahun sebelumnya. Ke empat belas isu krusial tersebut meliputi :
- Pasal 2 tentang (living law)
- Pasal 100 tentang (Pidana Mati)
- Pasal 118 tentang (Penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden)
- Pasal 252 tentang (Menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan ghaib)
- Pasal 276 tentang (Dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa ijin)
- Pasal 278-279 tentang (Unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih)
- Pasal 281 tentang (Contempt of Court)
- Pasal 282 tentang (Advokasi Curang)
- Pasal 304 tentang (Penodaan Agama)
- Pasal 342 tentang (Penganiayaan Hewan)
- Pasal 414-416 tentang (Alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan)
- Pasal 431 tentang (Penggelandangan)
- Pasal 469-471 tentang (Aborsi)
- Pasal 417 tentang (Perzinaan), Pasal 418 tentang (Kohabitasi), Pasal 479 tentang (Perkosaan) dimana ketiga pasal ini berkaitan dengan Tindak Pidana Kesusilaan.
Hasil pertemuan antara Wamenkumham dengan Komisi 3 pada dasarnya menyepakati beberapa hal yaitu diterimanya penjelasan Pemerintah terkait dengan 14 isu krusial tersebut untuk selanjutnya Komisi 3 akan menindaklanjuti pembahasan RUU KUHP sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai tindaklanjutnya, Komisi 3 akan menyampaikan surat pemberitahuan mengenai kelanjutan pembahasan terhadap RUU KUHP kepada Presiden Republik Indonesia.
Selanjutnya tanggal 29 Juni 2022, Komisi tiga melalui Pimpinan DPR RI telah mengirimkan surat kepada Presiden perihal Penyelesaian Pembahasan RUU KUHPidana oleh Komisi 3. Berikutnya pada tanggal 6 Juli 2022,Komisi 3 mengadakan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM membahas mengenai penyelesaian RUU operan dan penyerahan penjelasan 14 isu krusial dalam RUU KUHPidana kepada Komisi 3.
Dalampertemuan tersebut pada prinsipnya Komisi 3 menerima naskah RUU tentang KUHPidana yang telah disempurnakan. Komisi 3 dan Pemerintah juga sudah sepakat untuk menyelesaikan RUU KUHPidana khususnya terkait dengan 14 isu krusial sebelum diserahkan ke pembicaraan tingkat selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang ada.
Saat ini draft RUU tentang KUHPidana terutama terkait dengan 14 isu krusial hasil penyempurnaan diberikan untuk dibahas oleh masing masing fraksi di DPR RI dan akan dilanjutkan pembahasannya dengan pemerintah pada Masa Persidangan 1 Tahun Sidang 2022-2023.
Dalam rangka mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait dengan substansi RUU KUHP, pada tanggal 23 Agustus yang baru lalu Komisi 3 DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat dengan Persatuan Doktor Hukum Indonesia (PDHI), Dewan Pers Indonesia dan juga Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
Alotnya Pembahasan
Pembahasan RUU KUHPidana yang makan waktu hingga lebih dari 50 tahun lamanya tentu suatu jangka waktu yang sangat lama. Bandingkan dengan RUU Cipta Kerja yang sangat tebal halamannya saja bisa diselesaikan dalam waktu yang tidak lama.
Sejauh ini memang tidak ada tenggang waktu yang ditetapkan secara pasti yang bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk menetapkan kapan UU harus diselesiakan pembahasannya . Alat ukur yang digunakan Badan Legislasi DPR RI dalam menentukan cepat atau lambatnya penetapan suatu undang-undang tergantung kapan selesai dan sempurnanya UU tersebut serta dinyatakan lengkap dan baik oleh yang membuatnya.
Apabila diperlukan suatu aturan perundang-undangan di inginkan cepat penyelesaiannya maka mekanismenya adalah menggunakan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dimana presiden yang lebih punya kuasa mengeluarkannya.Hanya saja Perpu itu secara yuridis formal harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.
Meskipun tidak ada ketentuan kapan suatu UU harus diselesaikan pembahasannya, namun akhir akhir ini publik membaca ada beberapa UU yang superkilat pembahasannya namun ada pula UU yang terkesan terhuyung huyung penyelesaiannnya. Ada UU yang sudah sangat lama dibahas namun tidak kelar kelar juga.
Banyak faktor yang bisa mempengaruhi perjalanan pembahasan suatu RUU hingga menjadi UU agar dapat berlaku sebagaimana mestinya. Faktor faktor tersebut bisa bersifat dominan tapi bisa juga biasa biasa saja. Semuanya akan mempengaruhi kinerja pembuat UU dalam menyelesaikan tugasnya.
Diantara faktor yang menjadi variable cepat atau lambatnya pembahasan suatu RUU adalah karena adanya tekanan dan kepentingan yang mempengaruhinya. Sebagai contoh cepatnya pembahasan RUU Omnibuslaw cipta kerja karena memang ada “titah” dari penguasa agar pembuat UU segera merampungkan tugasnya.
Dugaan adanya kepentingan dan tekanan dalam pembahasan suatu RUU sehingga mempengaruhi kecepatan dan keterlambatan penyelesaiannya kiranya bisa dirasakan namun sulit untuk pembuktiannya. Yang jelas lambat atau cepatnya pembahasan suatu RUU karena memang banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor faktor tersebut diantaranya terkait dengan siapa sponsornya, apa kepentingannnya, sejauhmana supportnya untuk penyelesaiannya, seberapa besar RUU itu mengandung nilai finansial tertentu yang menguntungkan bagi para pembuatnya dan sebagainya.
Berdasarkan faktor faktor tersebut maka ketika pembahasan suatu RUU, hitung hitungan siapa mendapatkan apa dan berapa nilainya bukan suatu hal yang tabu terdengar di telinga. Lagi lagi hal ini sulit dibuktikan tetapi sering tercium baunya. Mungkin karena faktor ini pula yang menyebabkan RUU yang bersinggungan dengan kepentingan publik sering terkatung katung penyelesaiannya. Termasuk dalam kategori ini adalah RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lalu apakah upaya untuk segera merampungkan RUU KUHP yang begitu lambat penyelesaiannya, terjadi karena tidak ada “sponsor” yang bisa mendorong percepatan untuk penyelesaiannya ?. Apakah karena RUU itu tidak berkaitan (baca: tidak menguntungkan) secara langsung bagi pembuatnya ?. Publik bisa meraba raba dan menilainya.
Yang jelas ragam permasalahan yang terjadi pada proses pembuatan dan subtansi RUU KUHP sedikit banyak memang mempengaruhi perjalanan pengesahan RUU KUHP sehingga memerlukan waktu yang begitu lama untuk pengesahannya. Tetapi seyogyanya hal ini tidak boleh menjadi sebab untuk kemudian menunda pembahasannya. Karena bagaimanapun kehadiran KUHP baru karya bangsa Indonesia sendiri sangat ditunggu karena akan mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.
Perlu Disahkan Segera
Kini dengan belum berhasilnya DPR dan Pemerintah untuk mengundangkan RUU tersebut seolah olah menjadi indikasi tentang lemahnya komitmen legislative dan Pemerintah terhadap pembaruan hukum pidana. Seoalah olah hal ini menunjukkan mentalitas bangsa Indonesia yang dalam bahasa anak muda sekarang adalah susah move on untuk jadi bangsa yang benar benar merdeka.
Indonesia sepertinya masih senang diatur oleh hukum peninggalan penjajah, atau menyukai produk lama. Selain hal ini menunjukkan kegagalan legislatif dan eksekutif untuk melakukan pembaruan hukum, sehingga menjadikan RUU KUHP sebagai unfinished lawmaking project, yang tak jelas kapan berakhirnya.
Dalam kaitan ini Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pernah meminta DPR dan Pemerintah sendiri agar segera mengesahkan RUU KUHP meskipun masih banyak pro dan kontra didalamnya Bila nantinya ada pihak yang tidak sepakat dengan pasal-pasal dalam KUHP yang telah disahkan maka bisa menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Senada dengan Mahfud MD, Guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Benny Riyanto mengungkapkan RUU KUHP perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Menurutnya, Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Ia menjelaskan ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya).
Sebagai salah seorang yang ikut intens membahas RUU KUHP, saya sangat setuju dengan pendapat dua pakar hukum diatas agar RUU KUHP bisa disahkan segera. Karena bagaimanapun pembaruan hukum pidana melalui RUU KUHP tidak saja telah mempertimbangkan faktor asas demokratisasi, modernisasi dan dekolonisasi sistem Hukum Pidana, tetapi juga telah mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, living law (adat), yang dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi Hukum Pidana.
Kiranya tidak ada karya anak manusia yang sempurna apalagi substansi yang dibahas mengandung muatan yang cukup kompleks karena harus mengakomodasi nilai nilai keragaman dan adat istiadat yang ada di Indonesia dengan berbagai suku, bangsa dan agamanya. Tetapi daripada kita tetap mengacu pada hukum kolonial peninggalan Hindia Belanda apakah tidak sebaiknya kita membanggakan hasil karya anak bangsa yaitu KUHP ala Indonesia ?.
Jika nantinya setelah disahkan RUU KUHP ternyata masih terdapat pasal pasal yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia maka bisa dilakukan amandemen atau diajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena kalau menunggu sampai hasil karya sempurna niscaya hanya akan menjadi utopia belaka.Semoga saja RUU KUHP bisa segera disahkan pada tahun 2022 ini sehingga menjadi tonggak sejarah bagi lengsernya hukum pidana ala kolonial Belanda yang sudah bertahan begitu lama di Indonesia.
No comments:
Post a Comment