Jakarta, - Beberapa tahun kebelakangan, demokrasi di Indonesia seakan sedang diuji oleh beberapa oknum kepentingan yang bermain-main dengan politik identitas. Meskipun 2024 masih lama, tetapi nuansa politisasi agama dan simbolisai sudah mulai terasa. Karena itulah, penting memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah terpapar permainan politik identitas yang bisa mengancam persatuan bangsa.
Hal itu diutarakan Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), H. Imam Pituduh, SH. MM. Dia menyebut politik identitas terutama praktik politisasi agama merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai bersama terutama menjelang momentum politik. Politik identitas tersebut dapat menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan.
“Bahaya laten ‘Politisasi Agama’ perlu kita waspadai bersama-sama. Karena politik identitas dan agama yang dipolitisir, adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Dia melanjutkan, sikap pembiaran terhadap politisasi agama dan politik identitas justru membuka lebar bagi berkembangnya permainan semu (shadow game) yang menjajah cara berfikir masyarakat dan seakan-akan adalah hal yang lumrah, sehingga praktik yang demikian juga digunakan oleh oknum berkepentingan sebagai komoditas yang menjanjikan.
“Politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas yang favorit untuk diperdagangkan di masyarakat yang mayoritas religius. Dalil-dalil agama selalu dijadikan justifikasi untuk mengambil langkah-langkah politik bagi mereka yang menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas,” tutur pria yang kerap disapa Gus Imam ini seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.
Tidak hanya itu, pria yang menyutradarai film ‘Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri’ ini juga melihat, praktik politik identitas kian diperparah pasca perubahan kehidupan sosial masyarakat yang lekat dengan media sosial. Serangan dan bombardir isu politisasi agama dan ideologisasi radikal juga bergerak massif melalui jalur online.
“Para buzzer dan robot kelompok radikal, selalu berusaha bergerak secara massif menguasai jalur digital. Mereka menggunakan Neuroscience untuk membidik dan mempengaruhi anak muda dan para pemilih mayoritas, agar dapat dipengaruhi, diinfiltrasi dan dikendalikan alam bawah sadar dan lifestyle masyarakat,” jelasnya.
Karena itu, untuk mewaspadai dan mempersiapkan masyarakat dari maraknya isu politik identitas kedepannya, dirinya menilai perlu digelolarakan pemahaman terhadap isu politisisasi agama dan wawasan kebangsaan agar masyarakat memiliki imunitas dan daya dobrak untuk melawan segala bentuk ideologisasi radikal dan politisasi agama yang seiring sejalan.
“Masyarakat sebagai garda depan perlawanan harus diperkuat dalam kesatuan komando dan dilapisi dengan imunitas wawasan kebangsaan yang kuat dan dipersenjatai dengan pemahaman keagamaan yang moderat, ramah, damai dan toleran. Karena perlawanan ini tidak bisa sendiri-sendiri,” ujar mantan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) ini.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) ini melanjutkan, juga diperlukan militansi masyarakat yang solid untuk mampu memfilter isu, opini, dan segala narasi negatif dari kelompok oknum berkepentingan, hingga tidak ada lagi terdengar noice di sosial media politisasi agama dan ideologisasi radikal.
“Oleh karenanya, filterisasi isu, opini, berita dan segala narasi perlu dilakukan oleh semua fihak terutama pemerintah, masyarakat dan seluruh stakeholder bangsa. Check and Recheck, koordinasi, dan tabayun harus selalu dilakukan,” kata Imam.
Gus Imam mengharapkan adanya payung hukum dari pemerintah yang lebih kuat guna mengorkestrasi gerakan nasional pencegahan radikalisme dan intoleransi. Selain itu, juga perlu menyiapkan mitigasi tsunami politisasi agama dan politik identitas serta menyusun kontinjensi plan dan melakukan enggineering untuk mengeliminir dan memberantas radikalisme, intoleransi, ekstrimisme dan terorisme ke depannya.
“Agar tahun 2024 bangsa dan negara kita tidak kecolongan oleh rekayasa politisasi agama. Payung hukum ini dapat berupa Instruksi Presiden untuk memayungi gerakan agar lebih impactful, dan powerful, sebagai fasilitasi, rekognisi afirmasi dan proteksi terhadap keutuhan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia,” jelasnya.
Terakhir, Gus Imam juga mengharapkan khususnya para tokoh agama dan masyarakat untuk mempersiapkan umat maupun pengikutnya dengan memberikan edukasi dan pemahaman atas situasi yang berpotensi akan terjadi terkait perang politik identitas menjelang tahun politik 2024.
“Memberikan pemahaman atas situasi, membreikan penjelasan atas isu strategis serta menjaga kesatuan dan persatuan, serta bergotong-royong bersama pemerintah untuk melawan segala bentuk kejahatan dan kebatilan yang mengatasnamakan agama serta yang merugikan Tanah Air dan tumpah darah Indonesia,” tandasnya.
Walaupun pada dasarnya, Imam pun telah meyakini bahwa para ulama, tokoh agama dan organisasi pejuang serta pendiri bangsa, tentunya akan berjuang untuk menjaga NKRI ini. “Diminta ataupun tidak diminta, pasti sudah siap menjadi garda depan, ujung tombak, dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI,” pungkas Gus Imam. ***
No comments:
Post a Comment