Kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang dijalankan pemerintah terhadap Papua dan Papua Barat memang diperlukan untuk menciptakan peluang lebih luas bagi masyarakat orang asli Papua (OAP) di Bumi Cendrawasih.
Seperti
disampaikan mantan Dubes RI untuk Australia dan China, Imron Cotan, dalam
konteks Papua, kebijakan itu memberi peluang terbuka bagi anak-anak muda OAP.
"Pertama, ada dana otonomi khusus. Kedua,
ada affirmative policy dari pemerintah, bagaimana
memberdayakan OAP agar punya masa depan lebih cerah," ujar Imron saat
menghadiri sarasehan Mahasiswa Papua se-Jabodetabek yang digelar Human Studies
Institute dan Moya Institute di di RM Gubug Udang Cibubur, Jakarta Timur, Rabu
(23/2).
Menurut
Imron, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan
Kesejahteraan di Papua adalah langkah terbaru dari komitmen pemerintah
memajukan Papua.
Imron menjelaskan, situasi keamanan yang tidak
stabil menyebabkan proses pembangunan, yang dilancarkan pemerintah menemui
hambatan.
Untuk itu diperlukan penguatan affirmative
policy pembangunan sebagai upaya untuk mewujudkan percepatan
pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua.
"Kebijakan afirmatif ini harus diperkuat,
terutama dalam menciptakan lapangan kerja bagi OAP. Para OAP lulusan dari
berbagai kampus yang sulit mencari kerja, bisa punya peluang untuk bekerja di
BUMN, misalnya," ujar pemerhati isu Papua ini, dikutip Kantor Berita
RMOLJakarta.
Sementara Ketua Bamus Papua, Willem Frans
Ansanay menyebut, OAP memiliki hak, kewajiban, dan peluang yang sama seperti
masyarakat Indonesia lainnya.
Dia pun mengajak anak-anak muda Papua untuk
menjadi bagian dari solusi untuk memajukan provinsi paling timur Indonesia
tersebut secara khusus, dan Indonesia pada konteks yang lebih luas.
"Saya ingin buktikan ini negara saya juga
memiliki. Saya bisa hidup di mana saja, berkompetisi dengan siapa saja, dan
bisa berbuat sesuatu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tetapi juga
bermanfaat bagi orang banyak. Kita bersaing, ya bersaing. Tidak ada
perbedaan," kata Willem.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif
Human Studies Institute (HSI) Rasminto berpandangan, untuk membangun Papua sepatutnya
mengutamakan pendekatan humanis melalui sosial budaya.
Menurut Rasminto, sebab unsur adat dalam
kebudayaan tidak dapat dinilai dengan pandangan yang berasal dari kebudayaan
lain, melainkan dari sistem nilai yang pasti ada di dalamnya sendiri.
"Adat bersifat pribadi, artinya suatu adat
masyarakat tertentu hanya bisa dipahami dengan mendekatkan diri pada
nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat pemilik adat tersebut," kata
Rasminto.
Rasminto melanjutkan, pembangunan manusia
menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dengan pendekatan
berbasis etnis dan budaya (ethno-deveopment) Papua.
"Sebab keragaman etnis dan budaya yang
dimiliki oleh masing-masing daerah di Papua, memiliki kebutuhan yang juga
berbeda," kata Rasminto.
No comments:
Post a Comment