Ilustrasi Lambang Negara di Gedung KPK, Jakarta. ANTARA/Benardy Ferdiansyah
Jakarta (ANTARA) - KPK memastikan tetap bekerja dengan segala keterbatasan dan tantangan untuk memberikan kontribusi bagi negara dan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Oleh karena itu, trisula strategi pemberantasan korupsi juga membutuhkan berbagai penyesuaian teknis pelaksanaannya. Tiga strategi tersebut, yaitu penindakan untuk memberikan efek jera sekaligus mengoptimalkan pemulihan kerugian negara, strategi pencegahan sebagai upaya perbaikan sistem dan tata kelola untuk menutup celah rawan korupsi.
Selanjutnya, pendidikan antikorupsi untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sehingga kelak orang tidak memiliki keinginan untuk melakukan korupsi. Untuk memastikan akuntabilitas lembaga, KPK juga telah menyampaikan kepada publik terkait dengan capaian pada semester I 2021.
Upaya pencegahan korupsi salah satunya dengan memantau terkait dengan penyaluran bantuan sosial.
Rekomendasi KPK kepada Kementerian Sosial pada Desember 2020 telah ditindaklanjuti secara baik. Rekomendasi itu untuk penggabungan tiga basis data, yaitu data keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) pada Ditjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos, data penerima Bantuan Pangan Non Tunai pada Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial pada Pusdatin-Sekjen Kementerian Sosial.
Menurut Menteri Sosial, Tri Rismaharini, 52,5 juta data penerima bantuan telah "ditidurkan" karena terindikasi ganda (penerima menerima lebih dari satu jenis bantuan), tidak ber-Nomor Induk Kependudukan (kemungkinan penerima tidak ada/fiktif), serta data yang tidak dapat dijelaskan oleh pemda sebagai kontributor data penerima bantuan.
Mulai saat ini, 52,5 juta penerima bantuan tidak digunakan lagi. Deputi Pencegahan dan Pemantauan KPK, Pahala Nainggolan, mengungkapkan potensi penyelamatan keuangan negara karena dihapusnya 52,5 juta penerima tersebut, bila diasumsikan menerima bantuan perpenerima sebesar Rp200.000 perbulan atau Rp10,5 triliun perbulan maka penyelamatan keuangan negara sebesar Rp126 triliun pertahun.
Kemudian, KPK juga mencatat hingga 30 Juni 2021 telah menerima sebanyak 363.638 LHKPN dari total 377.574 wajib lapor atau tingkat kepatuhan pelaporan mencapai 96,31 persen.
Jumlah tersebut terdiri dari 96,44 persen bidang eksekutif, 89,27 persen bidang legislatif, 98,46 persen bidang yudikatif, dan 98,15 persen bidang BUMN/D.
Selain itu, KPK selama semester I 2021 juga memeriksa total 175 Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang terdiri atas 92 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas permintaan internal, diantaranya terkait proses seleksi hakim agung dan pengembangan perkara. Sementara 83 LHP dari para penyelenggara negara yang meliputi kepala daerah, direksi BUMD, dan penyelenggara negara di kementerian.
KPK juga mencatat sepanjang semester I 2021 telah menerima sebanyak 1.137 laporan gratifikasi dengan total nominal Rp6,9 miliar.
Sebanyak 309 laporan dantaranya dinyatakan sebagai milik negara. Sebesar Rp760 juta telah disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan pajak.
Untuk pelayanan publik, KPK hingga 30 Juni 2021 melalui platform Jaringan Pencegahan Korupsi (JAGA) menerima 348 keluhan terkait penyaluran bansos dan Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro.
Pendidikan antikorupsi
Hingga semester I 2021, Deputi Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menyatakan jumlah masyarakat yang teredukasi antikorupsi melalui kegiatan kampanye dan sosialisasi antikorupsi dengan berbagai media dan kegiatan-kegiatan baik yang sifatnya luring maupun daring sebanyak 7.288.600 orang.
Selanjutnya, tercatat telah terbit 318 Peraturan Kepala Daerah terkait pendidikan antikorupsi, yaitu 15 Perkada di tingkat provinsi, 69 Perkada di tingkat kota, dan 234 perkada di tingkat kabupaten.
Selain itu, juga telah diterbitkan regulasi-regulasi terkait pendidikan antikorupsi untuk satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama, Kemendikbud Ristek, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perhubungan.
Sampai 30 Juni, sudah 8.302 program studi sudah menerapkan pendidikan antikorupsi di berbagai perguruan tinggi.
Sedangkan, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan antikorupsi sekaligus meningkatkan integritas para penyelenggara negara, KPK menyelenggarakan program Penguatan Antikorupsi Penyelenggara Negara Berintegritas.
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pembekalan antikorupsi bagi penyelenggara negara (executive briefing) dengan peserta pimpinan kementerian/lembaga (k/l), pejabat struktural eselon I dan pasangan masing-masing. Kedua adalah pendidikan dan pelatihan antikorupsi untuk pejabat struktural eselon I.
Peserta dalam program tersebut adalah para penyelenggara negara dari 10 k/l sesuai dengan lima fokus area KPK pada 2021. Hingga semester I 2021, sebanyak 29 penyelenggara negara dari tiga k/l yang mewakili dua sektor telah mengikuti kegiatan executive briefing.
Selama satu semester terakhir, KPK juga telah menambah jumlah penyuluh antikorupsi yang disertifikasi yaitu 186 orang sehingga per30 Juni 2021 total tercatat 1.516 orang penyuluh antikorupsi tersertifikasi.
Dari sisi kelembagaan, Sekjen KPK, Cahya H Harefa, menyatakan, KPK telah menyelesaikan proses alih status pegawai KPK menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) sesuai dengan amanat UU Nomor 19/2019.
Dalam proses alih status tersebut, KPK telah melaksanakan beberapa kegiatan, yaitu Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dalam pelaksanaannya, KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) diikuti 1.349 pegawai, sebanyak empat pegawai tidak bisa mengikuti TWK dikarenakan tidak memenuhi syarat pendidikan minimal.
Selanjutnya, pelantikan pegawai KPK menjadi ASN pada 1 Juni 2021 yang diikuti 1.271 pegawai. Orientasi ASN pada 16 Juni 2021 hingga 7 Oktober 2021 baik secara daring maupun luring. Dalam pelaksanaannya, KPK bekerja sama dengan Lembaga Admininstrasi Negara (LAN).
Kegiatan terakhir, yakni diklat bela negara dan wawasan kebangsaan bagi 18 pegawai KPK yang menyatakan bersedia untuk mengikuti diklat tersebut. 18 pegawai itu sebelumnya tidak memenuhi syarat dalam TWK. Dalam pelaksanaannya, KPK bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan.
Selanjutnya, KPK juga mencatat dari hasil kerja semester I 2021 sudah menyetorkan PNBP ke kas negara senilai Rp92,03 miliar.
Adapun rinciannya terdiri dari pendapatan gratifikasi yang ditetapkan KPK menjadi milik negara Rp760 juta, pendapatan uang sitaan hasil korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan uang pengganti yang telah diputuskan atau ditetapkan pengadilan Rp73,72 miliar, pendapatan denda dan penjualan hasil lelang korupsi serta TPPU Rp11,84 miliar, dan pendapatan lainnya Rp5,71 miliar.
Selain itu, dalam rangka mendukung percepatan penanganan dan pencegahan Covid-19, KPK telah melakukan pengalihan anggaran sebesar Rp256,9 miliar atau sebesar 22,14 persen dari total anggaran KPK.
Penindakan dan eksekusi
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto, mengakui bahwa kinerja penindakan menjadi terkendala akibat pandemi Covid-19. Bahkan, kata dia, 90 pegawai di Kedeputian Penindakan terpapar Covid-19.
Selain itu, adanya peraturan 25 persen bekerja dari kantor dan 75 persen bekerja dari rumah bagi pegawai juga membuat kinerja penindakan menjadi tak maksimal. Selama semester I 2021, KPK telah melakukan 77 penyelidikan, 35 penyidikan, 53 penuntutan, dan 35 eksekusi.
Dari perkara di penyidikan tersebut, KPK menetapkan 32 orang sebagai tersangka dari total 35 Surat Perintah Penyidikan yang diterbitkan. Selanjutnya, untuk capaian perkara tahap II (penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum) sebanyak 50 perkara.
Perkara yang saat ini sedang berjalan sebanyak 160 dengan rincian 125 kasus merupakan kelanjutan yang dibawa dari tahun yang lalu dan 35 kasus dengan sprindik yang diterbitkan 2021.
Pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka yang dipanggil dalam semua penanganan perkara pada semester I 2021 sebanyak 2.761 saksi dan 50 tersangka.
Sementara, jumlah penggeledahan dan penyitaan dalam proses penyidikan perkara selama tahun semester I 2021 adalah sebanyak 45 kali penggeledahan dan 198 penyitaan.
Upaya penangkapan dan penahanan terhadap tersangka yang dilakukan pada semester I 2021 sebanyak empat orang untuk penangkapan dan 33 penahanan.
Sepanjang semester I 2021, melalui fungsi penindakan Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi, KPK juga mengembalikan uang negara melalui denda, uang pengganti dan rampasan. Total uang negara yang dikembalikan KPK (asset recovery) kepada negara mencapai Rp171,99 miliar.
Rinciannya, yaitu Rp73,72 miliar berupa pendapatan uang sitaan hasil korupsi, pencucian uang, dan uang pengganti yang telah diputuskan/ditetapkan pengadilan.
Selanjutnya, Rp11,84 miliar berupa pendapatan denda, penjualan hasil lelang korupsi serta TPPU. Terakhir, Rp85,67 miliar dari penetapan status penggunaan dan hibah.
Melalui Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi, KPK bersama-sama pemerintah daerah juga telah menyelamatkan potensi kerugian negara senilai total Rp22.270.390.872.363 dalam semester I 2021.
Rinciannya terdiri dari penagihan piutang pajak daerah senilai total Rp3,8 triliun, penyelamatan aset daerah dengan sertifikasi bidang tanah pemda dengan perkiraan nilai aset mencapai total Rp9,5 triliun, penyelamatan aset daerah dengan dilakukannya pemulihan dan penertiban aset bermasalah senilai total Rp1,7 triliun, dan penyelamatan aset Prasarana, Sarana dan Utilitas atau fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos/fasum) senilai total Rp7,1 triliun.
Kemudian hingga akhir Juni 2021, KPK juga mencatat total 60 perkara yang telah diterbitkan SK supervisi. 11 diantaranya telah dinyatakan lengkap atau sekitar 18 persen perkara korupsi tersebut telah mendapatkan kepastian hukum.
11 perkara tersebut terdiri dari enam perkara di wilayah Sulawesi Tengah, yaitu empat perkara pada Satuan Kerja Polda Sulawesi Tengah dan dua perkara pada Satker Kejati Sulteng.
Kemudian, tiga perkara pada Satker Polda Papua dan dua perkara pada Satker Polda Nusa Tenggara Timur.
Dalam pelaksanaan supervisi, KPK juga memfasilitasi perbantuan lainnya kepada aparat penegak hukum dalam penanganan perkara seperti pencarian orang pada tahap penyidikan maupun penuntutan, pemeriksaan fisik di tahap penyidikan, pelacakan aset di tahap penyidikan, keterangan ahli pada tahap penyidikan maupun penuntutan, dan fasilitasi lainnya yang dibutuhkan.
Hingga akhir Juni 2021, KPK juga telah membantu pencarian dua DPO. Pertama, DPO atas nama terpidana Khoironi F Cadda dalam perkara korupsi penyalahgunaan dan penyimpangan APBD Kabupaten Morowali TA 2007 yang diperuntukkan sebagai Dana Penyertaan Modal kepada Perusahaan Daerah Morowali untuk pengadaan kapal dengan kerugian negara sebesar Rp4,5 miliar.
Kedua, DPO atas nama tersangka CAP dalam dugaan perkara korupsi Pekerjaan Penggantian Jembatan Torate CS Sulawesi Tengah dengan anggaran sebesar Rp14,9 miliar.
Kedua perkara tersebut ditangani Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
Perhatian publik
KPK juga mengungkapkan empat perkara korupsi yang menjadi perhatian publik selama semester 1 2021.
Pertama, perkara PT Dirgantara Indonesia (PT DI) terkait kegiatan penjualan dan pemasaran. Perkara tersebut melibatkan direktur Aerostructure PT DI (2007-2010), direktur Aircraft Integration PT DI (2010-2012), dan direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI (2012-2017).
KPK menduga kerugian negara dalam perkara tersebut Rp202.196.497.761,42 dan 8.650.945,27 dolar AS. Dalam perkara tersebut, terdapat lima orang terdakwa (masih proses di Mahkamah Agung) dan satu orang terpidana.
Kemudian, perkara suap perizinan ekspor benih lobster (benur) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Perkara itu bermula dari kegiatan tangkap tangan yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Edhy Prabowo.
Edhy telah divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan dalam perkara penerimaan suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24,6 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
Selanjutnya, perkara suap pengadaan bansos untuk penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek yang menjerat Menteri Sosial saat itu, Juliari P Batubara, yang merupakan kader PDI Perjuangan.
Juliari telah divonis divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500.000.000 subsider enam bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Terakhir, Operasi Tangkap Tangan di Sulawesi Selatan yang melibatkan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah. Saat ini, dia sudah menjadi terdakwa dan dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Makassar.
Perkara itu terkait pengadaan barang dan jasa pembangunan infrastuktur di Provinsi Sulawesi Selatan.
Selain empat perkara, KPK juga tetap berupaya menangkap salah satu DPO yang juga menjadi perhatian publik selama ini, yaitu mantan calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, Harun Masiku.
Ia adalah tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih Tahun 2019-2024 yang sudah berstatus DPO sejak Januari 2020. Interpol juga telah menerbitkan red notice terhadap Harun.
KPK menyebut pandemi juga menjadi salah satu kendala untuk menangkap Harun yang diduga berada di luar negeri sehingga pergerakan tim KPK menjadi terbatas.
Kendati demikian, KPK menegaskan tetap berusaha untuk menangkap Harun.
"Selama yang bersangkutan ada dan bisa dipastikan "A1" keberadaannya saya siap berangkat kecuali memang tempatnya bisa kami jangkau. Memang ini tidak etis dan tidak patut kami buka di sini nanti info-infonya jadi ke mana-mana. Kalau misalnya dia tahu ini sedang dicari arahnya ke sana, dia geser lagi, bingung lagi kami," ucap Karyoto saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/8).
Sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, KPK tetap berupaya maksimal agar tugas-tugas pemberantasan korupsi tetap berjalan di tengah pandemi, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian yang telah dilakukan.
No comments:
Post a Comment