Menggenjot investasi jadi sasaran utama pemerintah menerbitkan Omnibus Law Cipta Kerja. Investasi juga diharapkan berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja. Tapi, realisasinya diprediksi tidak mudah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pengesahan UU Cipta Kerja yang terburu-buru justru kontradiktif dengan upaya untuk meningkatkan kualitas investasi. Sebab, banyak peraturan terkait perlindungan pekerja dan lingkungan yang diubah.
Di sisi lain, investor dari negara maju bakal melihat regulasi negara tujuan sebelum memutuskan menanamkan modalnya. Tujuannya, memastikan investasi yang memenuhi standar. Khususnya bagi investor dari Jepang, Amerika Serikat (AS), maupun negara-negara Eropa.
”Mereka memiliki prinsip terkait keadilan hak pekerja atau fair labor, tempat kerja yang layak atau decent work, dan berwawasan lingkungan. Poin-poin tersebut tidak didapatkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja,” ulasnya kemarin (11/10).
Menurut dia, bukan tidak mungkin omnibus law akan merugikan dalam jangka panjang. Selain mengundang polemik dan mogok kerja, investor akan mencermati berapa banyak peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun peraturan daerah yang diubah pasca pengesahan undang-undang sapu jagat tersebut.
Itu justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Imbasnya, para investor punya persepsi negatif dan menunda keputusan investasi. ”Mereka yang ingin berinvestasi akhirnya menjadi wait and see sampai peraturan teknisnya selesai dibuat pemerintah,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Bhima juga menyebut omnibus law tidak memiliki fokus. Di satu sisi, pemerintah ingin ada lembaga pengelola investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) yang uangnya bisa dikelola manajemen investasi yang sebagian besar di surat berharga. Sementara itu, di klaster ketenagakerjaan, hak pekerja dipangkas untuk menarik investasi padat karya. Pada bidang start-up, pemerintah membuka ruang untuk tenaga kerja asing (TKA) masuk. Lalu, di klaster pangan, yang akan didorong adalah importer pangan. ”Jadi, jenis investasi apa yang sebenarnya ingin didorong?” tanya Bhima.
Senada, ekonom Faisal Basri menuturkan, tujuan yang kerap terlontar dalam omnibus law adalah kemudahan berusaha. Padahal, lanjut dia, masalah klasik itu sudah berlangsung puluhan tahun.
”Namun, mengapa baru sekarang diklaim sebagai penyebab kemerosotan investasi dan pertumbuhan ekonomi? Dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan di masa lalu bisa 8 persen, 7 persen, dan 6 persen,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meyakini bahwa omnibus law akan menarik lebih banyak proyek investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia. Menurut dia, investasi akan memberikan lebih banyak kesempatan kerja. Investasi berkontribusi sebesar 30,61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2020.
Bahlil menegaskan bahwa konsumsi terjadi ketika masyarakat memiliki daya beli. Daya beli dapat tercipta jika masyarakat memiliki kepastian pendapatan. Penghasilan dapat dipastikan jika ada pekerjaan. ”Di sinilah investasi memegang peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment