JAKARTA – Akademisi Universitas Indonesia (UI) Dr. Teddy Anggoro menilai, ego sektoral antar kementerian masih menjadi masalah dalam upaya perbaikan regulasi di Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo, terutama terkait regulasi perizinan investasi.
Padahal, sejak 2017, Presiden Joko Widodo sudah melakukan serangkaian perbaikan regulasi perizinan.
Dia mengatakan, Jokowi telah memberikan perintah langsung untuk memangkas 50 persen dari 42.000 regulasi yang ada. Dari 2015–2017, ada 427 regulasi yang dibatalkan.
Kemudian, melalui paket kebijakan ekonomi I–XV, sejauh ini telah ada 213 Peraturan yang dideregulasi meliputi pencabutan, revisi, dan pembentukan regulasi baru. Untuk peraturan daerah, ada 3.143 regulasi yang dibatalkan.
“Jadi sebenarnya hambatan regulasi ini sudah coba diperbaiki oleh pemerintah, tapi baru level UU ke bawah,” kata akademisi Universitas Indonesia itu dalam diskusi virtual bertema “Menyederhanakan Hambatan Regulasi di Indonesia” pada Sabtu (16/5).
Oleh karena itu, yang muncul di pikiran pemerintah saat ini adalah dengan mengubah Undang-Undang langsung di tingkat atas.
Ia mengatakan, puncaknya saat pelantikan periode kedua pada 20 Oktober 2019 kala Presiden Jokowi menyebut dengan lugas akan melakukan Omnibus Law sebagai langkah untuk perbaikan regulasi perizinan.
“Presiden menyebut dua UU besar yang akan menjadi regulasi hasil Omnibus Law, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM,” ujarnya.
Pakar Hukum ini menilai, bahwa perbaikan regulasi terutama memperbaiki iklim investasi yang tengah dilakukan Presiden Joko Widodo masih terbentur dengan ego sektoral antarkementerian.
Dosen Fakultas Hukum UI ini menjelaskan, Omnibus Law sebagai suatu cara atau metode pembentukan produk hukum bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya, penerapan metode Omnibus Law sudah pernah dilakukan dalam pembentukan suatu regulasi.
Teddy mencontohkan, penerapan metode Omnibus Law yang sebelumnya sudah pernah dilakukan dalam pembentukan suatu regulasi.
“Penerapan omnibus law dari dulu sudah ada. Misalnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang sifatnya mencabut UU No. 5/1962 tentang perusahaan daerah, mencabut Pasal 157,” paparnya.
Kemudian, Teddy juga menyebutkan Pasal 158 Ayat 2–9 dan Pasal 159 UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mencabut Pasal 1 Angka 4, Pasal 314–412, Pasal 418–421 UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Ada juga UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang sekarang tengah ramai itu juga mencabut beberapa regulasi sebelumnya seperti UU No. 28 Tahun 2000.
“Nah ini kan orang banyak berdebat mengenai omnibus law. Kalau saya bilang, tidak ada yang salah dari Omnibus Law ini karena Omnibus Law itu kan cara atau metode untuk membentuk suatu UU. Jadi jangan dipermasalahkan tentang Omnibus Law. Kalau orang bicara Omnibus Law itu adanya di common law sistem, tidak dikenal di civil law sistem, sekarang mana ada sistem hukum yang imun dari pembauran atau masuknya sistem hukum lain,” tukasnya.
Teddy mendukung DPR dan Pemerintah kembali membahas Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), karena dinilai dapat menjadi solusi untuk perbaikan regulasi perizinan usaha di Indonesia, terlebih usai pandemi Covid-19 nanti banyak orang yang membutuhkan kepastian hukum berusaha di Indonesia.
“Saya pribadi sebenarnya tidak setuju kalau DPR disuruh berhenti membahas. Saya bilang, saya ini bayar pajak, jujur saja saya sempat sesak karena saya harus membayar Rp20 juta sekian. Dan saya tidak ikhlas kalau misalnya uang pajak saya tidak dimanfaatkan dengan baik karena saya mulai berpikir bagaimana pasca covid. Apa yang harus kita lakukan. Terus dengan regulasi yang sekarang ada itu jelas tidak sanggup. Jadi jangan dibiarkan DPR itu dikasih tugas hanya mengawasi dana covid jangan. Kalau saya pikir, dia harus kerja,” pungkasnya. (Der/Fin)
No comments:
Post a Comment