KAMI adalah organisasi yang banyak dibicarakan orang, namun sayang bukan karena prestasinya. Namun mereka sering menebar hoax dan provokasi di media sosial. Tujuannya agar masyarakat berbalik arah dan membenci pemerintah.
Media sosial seperti Instagram dan Twitter sering diakses oleh orang Indonesia. Bahkan netizen negeri ini diklaim sebagai pengguna Facebook nomor 3 terbanyak di dunia. Kesukaan orang Indonesia akan media sosial dimanfaatkan juga untuk berdagang, kampanye, atau menyebar suatu paham baru.
Sayangnya saat ini Instagram dan Facebook digunakan juga oleh KAMI untuk memprovokasi netizen di Indonesa. Mereka tahu bahwa satu status bisa mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, ada banyak pendapat dan berita yang di-share. Tujuannya agar ribuan follower mereka paham akan tujuan KAMI yang bersebrangan dengan pemerintah.
KAMI juga ketahuan memprovokasi banyak orang untuk ikut demo tolak omnibus law. Alasannya rakyat sedang tertindas oleh Undang-Undang baru. Padahal hasutan yang disebar hanya hoax. Pasal yang dikutip nyatanya tidak ada di dalam omnibus law. Misalnya provokasi tentang hilangnya hak cuti tahunan dan cuti hamil bagi pegawai. Kenyataannya, hak itu tetap ada.
Unjuk rasa saat pandemi bisa menyebarkan corona, namun KAMI mendukungnya. Di lokasi, ratusan pendemo dites rapid dan 12 orang positif . Masih banyak orang lain yang lolos dari tes dan bisa jadi mereka OTG. Menurut Dokter Wiku, juru bicara satgas covid, klaster demo baru akan terlihat 2-4 minggu kemudian. Apa KAMI mau bertanggung jawab akan keteledoran fatal ini?
Jika sudah begini, KAMI malah menjerumuskan banyak orang. Bukannya tobat dan menyetop demo susulan, mereka malah membuat grup WA untuk menyebarkan hasutan dan mengangkat isu SARA. Hal ini yang memicu amarah rakyat dan berdemo. Pernyataan itu dikemukakan oleh Brigjen Awi Setiyono, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri.
Brigjen Awi melanjutkan, dalam grup WA berisi pesan hoax dan provokasi. Sehingga para anggota grup itu dicokok, karena kena UU ITE. Dari 8 orang, ada 5 yang berstatus tersangka. Meskipun dari mereka ada yang termasuk tokoh masyarakat, namun karena terbukti bersalah, tak bisa kebal hukum.
Dengan begini, diharap KAMI tak lagi menyebarkan berita palsu dan bertindak seenaknya. Walau berada di media sosial, tetap harus taat aturan dan tidak men-share hoax sembarangan. Jika berkelit dan memberi alibi bahwa mereka juga tertipu terhadap kepalsuan berita, bukankah sekarang mudah untuk mengecek kebenarannya?
Efek buruk dari hoax ini sangat dahsyat dan KAMI tidak berpikir sampai sepanjang itu. Ketika ada narasi berita palsu yang menyebutkan bahwa dalam omnibus law, UU Ketenagakerjaan diubah sehingga pegawai bisa dipecat tanpa pesangon. Masyarakat bisa gelap mata dan melakukan tindakan anarki saat demo, karena merasa dibohongi pemerintah.
Pasca demo, terhitung kerugian yang harus ditanggung pemerintah mencapai puluhan milyar. Sehingga demo gagal menjadi ajang pemberian aspirasi, malah membuat keuangan negara bisa bangkrut. Semua terjadi hanya karena percaya 1 macam hoax dan masih ada belasan berita palsu lain yang disebarkan oleh para anggota KAMI.
Padahal setelah demo baru terkuak bahwa itu hanya hoax. Uang pesangon masih ada, bahkan masih ditambah lagi dengan jaminan kehilangan pekerjaan yang diurus oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini membuktikan masyarakat masih bersumbu pendek dan terlalu mudah dibohongi oleh berita palsu, dan sayangnya jadi dimanfaatkan oleh KAMI.
Janji KAMI untuk selmatkan Indonesia masih gagal. Masyarakat malah disetir pemikirannya dengan mengumpankan provokasi dan berita hoax di media sosial. Kita jangan mudah percaya jika ada broadcast berita, apalagi jika media online tersebut tidak valid. Periksa dulu kebenarannya.
No comments:
Post a Comment