Pemerintah memberikan beasiswa S2 dan S3 kepada semua lulusan S1 yang bersemangat untuk belajar. Mereka bisa melanjutkan studi tanpa memikirkan biayanya. Namun penerimaannya tentu dengan seleksi yang sangat ketat. Selain tes akademis dan psikotes, ada pula seleksi yang bertujuan untuk mengetahui bahwa mereka tidak menjadi anggota atau simpatisan dari kaum radikal. Karena tentu akan berbahaya bagi masa depan dan mencoreng nama Indonesia di luar negeri.
Ketika ingin kuliah di luar negeri, banyak yang mengincar beasiswa yang diberikan oleh pemerintah, karena mendapat banyak fasilitas. Di antaranya gratis biaya kuliah, biaya pendaftaran universitas dan tiket pesawat PP (jika belajar di luar negeri). Bahkan penerima beasiswa juga menerima uang tunjangan buku sebesar 10 juta per tahun. Mereka tinggal menuntut ilmu tanpa harus menabung bertahun-tahun demi biaya kuliah S2 atau S3.
Namun semua kenikmatan ini tentu harus ditebus dengan banyak persyaratan. Calon penerima beasiswa harus melalui berbagai tes untuk mengetahui kecerdasannya. Ada pula psikotes untuk mengetahui kematangan emosinya. Untuk calon penerima beasiswa di luar negeri, maka ada minimal nilai TOEFL dan TOEIC sebagai standar dalam kemampuan berbahasa inggris. Yang paling penting, mereka dilarang keras menjadi anggota kaum radikal.
Persyaratan bahwa calon penerima beasiswa tidak boleh jadi anggota atau simpatisan kaum radikal baru dilakukan beberapa tahun ini. Mengapa tidak boleh? Tentu karena beasiswa ini adalah pemberian dari pemerintah Indonesia. Sedangkan kaum radikal adalah musuh besar kita, karena ingin mengganti azas pancasila dan membentuk negara khilafiyah.
Jika kaum radikal mendapatkan beasiswa dari Kemenkeu tentu sama seperti menjilat ludah sendiri, karena ia membenci pemerintah tapi menikmati uang darinya untuk kuliah. Di mana rasa terimakasihnya? Ketika membenci total, tentu jangan mendaftar beasiswa LPDP. Jika nekat, maka namanya seenaknya sendiri dan kehilangan rasa malu.
Agus Sartono, Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK menjelaskan bahwa proses seleksi penerimaan beasiswa dari pemerintah memang diperketat untuk mencegah paparan radikalisme. Karena diharap mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di luar negeri bisa fokus menuntut ilmu. Bukannya malah membentuk jaringan khilafiyah dan bertemu dengan kelompok separatis serupa di sana.
Rionald Silaban, Ditektur Utama LPDP menjelaskan bahwa calon penerima besiswa dikumpulkan dan diberi kuliah singkat tentang bernegara dan berbangsa, untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Sedangkan seleksi ketat bagi mereka ini sengaja dibuat untuk mencegah terjadinya penularan radikalisme di luar negeri. Karena jika terlanjur, maka akan mempermalukan nama bangsa Indonesia.
Sebelum terlanjur menerima para anggota kaum radikal jadi penerima beasiswa, maka selayaknya ada seleksi untuk mengetahui apakah mereka simpatisan dari gerakan separatis (nasional maupun internasional), anggota, atau bukan. Bagaimana cara mengetahuinya? Bisa dengan bantuan dari intel untuk menyelidikinya.
Namun sekarang ada cara mudah untuk tahu bahwa ia anggota kaum radikal atau bukan, dengan mengecek akun media sosialnya. Jika di timeline Facebook, Twitter, atau postingan Instagram sering menjelek-jelekkan pemerintah, sudah minus 1 poin. Ditambah lagi jika ia meng-upload gambar bendera hitam yang ternyata adalah simbol khilafiyah. Sudah dipastikan ia adalah simpatisan kaum radikal. Jadi permohonan beasiswanya akan ditolak saat itu juga.
Calon penerima beasiswa kuliah yang diberikan oleh pemerintah harus melalui beberapa seleksi seperti tes untuk mengukur kecerdasan dan emosional, serta yang paling penting mereka tidak boleh jadi anggota kaum radikal. Karena kaum separatis jika dikuliahkan ke luar negeri bisa berbahaya dan dikhawatirkan membentuk jaringan internasional. Bayangkan jika mereka kuliah di bidang sains, akan makin pintar merakit bom untuk aksi teror. Oleh karena itu, seharusnya ada seleksi yang sangat ketat agar kaum radikal tidak bisa menerima beasiswa dari pemerintah Indonesia.
No comments:
Post a Comment