Visi Indonesia Maju 2045 dengan melabuhkan Indonesia menjadi negara yang memiliki pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 7 triliun dollar AS, sejatinya merupakan visi besar dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan Makmur.
Visi Indonesia maju tersebut sekaligus menjadi langkah strategis Indonesia sebagai 5 besar ekonomi dunia tertinggi dengan PDB terbesar kelima di dunia, agar kita mampu keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan lompatan besar, utamanya dalam mendukung akselerasi serta upaya sungguh-sungguh dalam terus meningkatkan sinergitas dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan dalam mempersiapkan dan memastikan berbagai pilar sebagai prasyarat yang dibutuhkan dapat terpenuhi.
Salah satu yang menjadi pilar penting dalam menggapai visi besar Indonesia Maju 2045 mendatang adalah memastikan berbagai langkah strategis dalam penyiapan mendatangkan investasi ke Indonesia, hal ini diperlukan karena investasi sangat berperan dalam membuka lapangan kerja seluas-luasnya, utamanya dalam fokus menghilangkan hambatan investasi sehingga dapat menciptakan ekosistem yang mendukung berkembangnya iklim investasi yang kondusif.
Berkembangnya iklim investasi yang kondusif dengan adanya kepastian hukum menjadi poin yang sangat penting dalam menyukseskan akselerasi pembangunan, terlebih dalam hal menciptakan kemudahan investasi guna menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Investasi memiliki posisi yang sangat strategis dalam tataran pembangunan perekonomian suatu negara utamanya dalam menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady state growth) berkesinambungan sehingga pembangunan memiliki manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dengan mengambil studi kasus pada perekonomian negara maju, teori Harrod-Domard menyimpulkan bahwa investasi memiliki pengaruh ganda untuk jangka panjang (long-term). Pada satu sisi, investasi berpengaruh terhadap perkembangan produksi nasional suatu negara karena tersedianya stok modal yang menjadi faktor penting kelangsungan dunia usaha. Di sisi lain, investasi berpengaruh pada permintaan agregat. Oleh karena itu, untuk mencapai steady-state growth atau pertumbuhan ekonomi yang mantap diperlukan kondisi di mana para pelaku usahanya memiliki harapan dan pandangan yang cenderung stabil.
Investasi juga sebagai sarana dan motivasi dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya memperluas penggunaan tenaga kerja dalam meningkatkan produksi. Kaum aliran klasik menganggap akumulasi kapital sebagai suatu syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi. Adanya pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Jadi secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa dengan melakukan penananaman modal maka dapat meningkatkan pendapatan.
Investasi semakin memiliki peran strategis ditengah kondisi perlambatan dan ketidakpastian ekonomi global yang menuntut berbagai negara untuk lebih “independent” secara ekonomi sehingga terhindar dari adanya ancaman stagnasi maupun resesi akibat ketidakpastian geopolitik internasional.
Visi Indonesia Maju 2045 harus menjadi perhatian serius kita semua untuk mendukung akselerasinya, sehingga dapat menjadi kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai perubahan geostrategis ekonomi global. Diperlukan adanya lompatan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mengupayakan mitigasi risiko akibat dinamika ekonomi global, melalui akselerasi pembangunan demi mendekatkan visi Indonesia Maju, salah satunya dengan rencana penerapan Omnibus Law.
Sebagaimana kita ketahui Bersama Omnibus Law adalah metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai Undang–Undang sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak Peraturan Perundang–Undangan. Skema tersebut dilakukan untuk menyederhanakan, memangkas, serta menyelaraskan berbagai regulasi yang tumpang–tindih atau pun bertentangan dalam rumpun bidang yang sama.
Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di negara – negara penganut sistem common law yang bertujuan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka meningkatkan iklim serta daya saing investasi.
Sebagai ilustrasi kita dapat mencermati penerapan Omnibus Law di Amerika Serikat (AS) yang cukup sering menggunakan hukum omnibus, utamanya untuk merangkum beberapa aturan yang lebih kecil. Penggunaaan hukum itu biasanya terjadi dalam aturan untuk mendanai badan pemerintah, dan mencegah penutupan layanan negara (shutdown).
Adapun jika dirunut sejarahnya, pada abad 19, setidaknya AS mencatat mempunyai tiga Omnibus Law yang cukup signifikan. Salah satunya adalah Kompromi 1850 berisi lima ketentuan berbeda yang dirancang oleh Senator Henry Clay dari Kentucky. Saat itu, Clay membuat kompromi tersebut guna meredam perbedaan yang bisa mengancam pemisahan diri dari negara bagian yang tidak melarang perbudakan. Satu lagi adalah Omnibus Law pada 22 Februari 1889. Mengatur penerimaan empat negara bagian ke AS: North dan South Dakota, Montana, dan Washington
Di Irlandia, pemerintah setempat mengesahkan Amendemen Kedua Konstitusi pada 1941, berisi perubahan fundamental pada aturan hukum di sana. Kemudian di Selandia Baru, sebuah Omnibus Law disahkan pada November 2016 berisi legislasi bagi Wellington untuk memasuki Kerja Sama Trans Pasifik (TPP). Kemudian di Australia, Canberra menelurkan Artikel 55 dalam Konstitusi berisi UU yang mengubah sejumlah perpajakan.
Oleh karena itu pilihan strategi Indonesia dalam menerapkan Omnibus Law sangatlah make sense mengingat iklim investasi dan daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain (peer group) seperti Malaysia dan Thailand. Hal tersebut tercermin dari laporan “Ease of Doing Business (EODB)” 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia masih berada di peringkat 6 besar negara di ASEAN dengan total skor 69,6 sedangkan Malaysia dan Thailand masing – masing memiliki total skor 81,5 serta 80,1.
Demi menciptakan lompatan besar menuju Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo telah memfokuskan arah pembangunan pada akselerasi pertumbuhan ekonomi demi mewujudkan transformasi ekonomi nasional dari ketergantungan sumber daya alam ke arah peningkatan daya saing manufaktur dan jasa modern yang memiliki nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa Indonesia, hal ini menuntut adanya akselerasi pengembangan investasi agar industrialisasi dan transformasi ekonomi dengan mengedepankan nilai tambah dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia.
Dengan adanya Omnibus Law diharapkan dapat menjadi lompatan besar dan langkah terobosan dalam mengupayakan iklim investasi yang kondusif, sehingga hyper-regulation baik sektoral maupun operasional yang selama ini menjadi penghambat masuknya investasi diharapkan dapat diminimalisir guna memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dapat berjalan sesuai harapan.
Investasi Salah Satu Kunci Pertumbuhan Ekonomi
Kita patut mengapresiasi lompatan besar yang tengah dipersiapkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengupayakan peningkatan investasi, pembentukan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan yang bersifat saling mendukung dan saling melengkapi, diharapkan dapat menjadi pemantik upaya sungguh-sungguh pemerintahan Jokowi dalam menghilangkan ego sektoral dalam mengupayakan cita – cita bersama serta demi kepentingan ekonomi nasional.
Perpaduan kedua Omnibus Law sangatlah tepat jika diimplementasikan di tengah dinamika ketidakpastian geopolitik global saat ini akibat upaya proteksionisme negara adidaya, penciptaan iklim investasi yang kodusif akan sangat berpengaruh terhadap meningkatnya daya tarik investasi nasional yang diharapkan dapat menarik pola aliran investasi negara – negara maju di berbagai kawasan Indonesia.
Dapat kita cermati bersama Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan memiliki peranan yang sangat strategis dengan posisi yang saling menguatkan serta mendukung iklim berinvestasi dengan mengharmonisasikan berbagai bauran kebijakan fiskal maupun operasional yang komprehensif.
Dalam operasionalisasinya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster meliputi 1) Penyederhanaan Perizinan; 2) Persyaratan Investasi; 3) Ketenagakerjaan; 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; 5) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; 5) Kemudahan Berusaha; 6) Dukungan Riset dan Inovasi; 7) Administrasi Pemerintahan; 8) Pengenaan Sanksi; 9) Pengadaan Lahan; 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, serta 11) Kawasan Ekonomi.
Masing – masing klaster dirancang untuk menyederhanakan perizinan berusaha yang meliputi perizinan dasar (izin lokasi, perizinan lingkungan, perizinan bangunan gedung) serta perizinan sektor yang mencakup 15 sektor.
Harapannya sudah barang tentu akan terjadi kemudahan proses perizinan yang dapat ditingkatkan dengan adanya integrasi hukum yang lebih dinamis sehingga berkorelasi positif dalam meningkatkan daya tarik investasi serta sebagai katalisator penggerak ekonomi nasional.
Sedangkan Omnibus Law Perpajakan mencakup 6 pilar yaitu 1) Pendanaan Investasi; 2) Sistem Teritori; 3) Subjek Pajak Orang Pribadi; 4) Kepatuhan Wajib Pajak; 5) Keadilan Iklim Berusaha, serta 6) Fasilitas yang berfokus pada penguatan peran instrumen fiskal sebagai counter cyclical dalam menjaga kestabilan ekonomi dengan memastikan kemudahan iklim berinvestasi.
Upaya untuk menciptakan lompatan besar demi mendekatkan visi Indonesia Maju tersebut pasti membutuhkan sinergi berbagai bauran kebijakan dalam mendukung investasi yang dapat dilakukan menggunakan instrumen Omnibus Law sebagai payung hukum lokomotif penggerak masuknya investasi.
Upaya pemerintah Indonesia dalam menggenjot laju investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional selaras dengan argumen Hermes & Lensink (2003) yang menyatakan bahwa Foreign Direct Investment (FDI) memiliki dampak positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terhadap negara penerima di mayoritas negara–negara Amerika Latin dan Asia.
Sebagai negara berkembang dengan mayoritas penduduk usia produktif, peran investasi dalam menyediakan lapangan kerja untuk mendorong sektor – sektor produktif menjadi fokus yang perlu mendapat perhatian.
Dalam publikasi World Bank pada September 2019 dengan judul ‘Global Economic Risks and Implications for Indonesia’, kunci dari pertumbuhan ekonomi terletak pada seberapa besar Penanaman Modal Asing (PMA). Data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi PMA Triwulan II (periode April - Juni 2019) mengalami peningkatan dengan total realisasi investasi mencapai US$6.992juta dibandingkan dengan Triwulan I yang masih di angka US$6.080,7juta.
Namun World Bank mencatat PMA yang masuk ke Indonesia pada 5 tahun terakhir hanya sebesar 1,9% dari PDB yang masih jauh di bawah Kamboja yang mencapai 11,8% dari PDB, Vietnam 5,9% dari PDB, serta Malaysia yang mencapai 3,5% dari PDB.
Persoalan yang digarisbawahi World Bank mengenai masih rendahnya kontribusi PMA Indonesia terhadap PDB terletak pada regulasi Indonesia yang dinilai terlalu rigid sehingga menyebabkan kurang kompetitif di pasar global. Untuk itu dengan adanya rencana penerapan Omnibus Law yang akan dibahas Bersama DPR dalam waktu dekat, memiliki nilai strategis pada masa mendatang untuk mendorong iklim investasi yang lebih dinamis menjadi harapan bagi bangsa Indonesia untuk lebih optimis mengejar ketertinggalan agar tidak terjebak pada middle-income trap.
Visi Indonesia Maju 2045 harus didukung dengan gebrakan baru dalam mengupayakan pertumbuhan ekonomi dengan menggerakan sektor–sektor produktif baru, yang salah satu kuncinya adalah dengan mempercepat laju investasi sebagai modal utama penggerak ekonomi nasional.
No comments:
Post a Comment