photo by anna shvets from pexels
Kalau benar, saya setuju! Saya bukan ahli hukum, saya cuma perempuan yang pernah bekerja di 3 perusahaan dalam rentang waktu 17 tahun. Dengan rincian 10 tahun di perusahaan pertama, 5 tahun di perusahaan kedua dan 2 tahun di perusahaan ketiga. Artinya saya pernah punya pengalaman sebagai pekerja.
Apakah sekarang saya sudah tidak bekerja? Tidak bekerja sebagai karyawan tetap, jawabnya iya. Tidak bekerja dalam pengertian berkantor, jawabnya iya. Tapi saya tetap bekerja dalam pengertian menghasilkan uang, sebagai pekerja lepas. Apakah selama saya bekerja saya pernah menggunakan hak cuti karena haid? Seingat saya, tidak pernah. Saya merasa rugi jika tidak bekerja.
Saya ingin menuliskan RUU Cipta kerja yang dibuat dengan Omnibus Law terdorong keinginan menyampaikan pendapat. Diterima syukur, tidak diterima tidak apa-apa. Setuju dengan pendapat saya ok, nggak setuju juga nggak apa-apa.
Saya tidak tahu, kelompok yang kontra sudah baca atau belum isi dari RUU tersebut. Soalnya Draft RUU Cipta Kerja ada 1028 halaman. Saya belum baca semua. Saya baru baca sebagian. Terutama poin-poin terkait dari tujuan dibuatnya RUU ini.
Saya mencoba berprasangka baik, saya beranggapan, ini bentuk perhatian negara pada pekerja dan pengusaha secara khusus dan kepada masyarakat secara umum. Ada yang puas dan ada yang tidak puas, adalah hal biasa. Karena memang tidak ada yang mampu memuaskan semua pihak.
Demikian juga mengenai rasa keadilan. Adil itu tidak selalu tidap oarng mendapat porsi yang sama. Bisa jadi ada yang mendapat prosi lebih besar dan ada yang mendapat porsi lebih kecil. Keadilan terjadi atau dirasakan disaat yang mendapat porsi besar ataupun yang mendapat porsi kecil, menerima dan sama-sama merasa cukup.
Kaum pekerja merasa RUU Cipta Kerja berpihak pada pengusaha. Benarkah? Hal-hal yang dikhawatirkan pekerja atas RUU Cipta Kerja di antaranya akan dihapusnya hak cuti haid.
Buat saya sebagai perempuan aturan yang memperbolehkan perempuan yang merasa sakit untuk tidak bekerja atau berhak mendapat cuti haid hari pertama dan hari kedua, justru sebagai sebuah kelemahan.
Bayangkan dalam setahun, pekerja (Perempuan dan laki-laki) mempunyai hak cuti 12 hari. Dengan tambahan cuti haid satu-dua hari, pekerja perempuan mendapat ekstra cuti 24 hari dalam sebulan? Jangan salahkan pengusaha yang lebih memilih pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan. Belum lagi cuti melahirkan. Hitung-hitungan di atas kertas, mempekerjakan pekerja perempuan merugikan.
Kita sama-sama tahu, buruh pabrik kebanyakan pekerja perempuan. Bayangkan kerugian yang terjadi jika dalam waktu yang bersama ada 100 buruh yang haid. Akan setiap hari ada yang haid hari pertama dan hariu kedua.
Saya pernah mengikuti suatu acara bincang-bincang yang menghadirkan beberapa buruh pabrik perempuan yang curhat. Bagaimana mereka menderita karena haid hari pertama dan hari kedua dalam keadaan sakit. Mulai dari sakit perut, demam, pusing, muntah bahkan pernah sampai pngsan tapi tetap harus masuk kerja.
Jujur, saya marah pada pengusaha yang membiarkan pekerjanya tetap bekerja walau dalam ke adaan sakit. Tapi kan harus dicari tahu, apakah kondisi-kondisi seperti itu (sakit hari pertama-kedua karena haid) terjadi sepanjang usianya Atau hanya kalau stamina tubuh kurang baik?).
Kalau rasa sakit karena haid di hari pertama dan hari kedua bisa diatasi, artinya pekerja bisa bekerja dengan kondisi tidak sakit. Kondisi sakit karena haid bisa dicari tahu dan sudah bisa diatasi. Saya yakin seyakin-yakinnya tidak ada yang mau sakit.
Sebagia manusia yang punya akal, begitu tubuh memberi tanda kurang sehat, maka yang bersangkutan akan mencari cara menghilangkan rasa sakit terbut. Baik dengan minum obat, istirahat/tidur atau makan yang baik.
Saya perempuan, saya Ibu, saya menjalani dan mengalami haid sejak usia 13 tahun. Semasa haid saya baik-baik saja. Saya baru mengalami sakit karena haid ketika kelas 3 SMA.
Setelah saya mencari tahu, mengapa bisa sakit saat haid ternyata karena saya mengurangi aktifitas fisik. Karena sudah kelas 3, almarhum ayah saya meminta saya mengurangi kegiatan di luar jam sekolah. Saya mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari pramuka hingga olahraga.
Berhenti total justru menyebabkan saya merasa nyeri saat haid. Karena sudah mendapat jawaban, tetap mengikuti permintaan almarhum ayah, saya melakukan olahraga senam/jogging di rumah dan meminum suplemen penambah darah. Setelah itu, saya tidak pernanh mengalami sakit lagi.
Zaman kian modern dan canggih. Banyak penemu-penemu hebat termasuk dalam bidang kesehatan. Haid yang sudah menjadi kodrat permepuan nggak seharusnya menjadi titik lemah atau kendalam dalam perempuan beraktifitas termasuk dalam hal bekerja. Maka tak ada alasan perempuan perlu mendapat cuti haid hari pertama atau hari kedua.
Maka saya katakan, Saya setuju RUU Cipta Kerja pada bagian cuti haid hari pertama hingga hari kedua dihapus. Karena kondisi ini mempersulit posisi pekerja perempuan jika dibandingkan dengan pekerja lak-laki.
Jadi jangan mengeluh atau banyak protes ketika dari 100 peluang kerja, 90 % diisi pekerja laki-laki. Karena memang merugikan kalau harus memperkerjakan perempuan yang memiliki hak cuti tambahan 200% lebih banyak dari pekerja laki-laki. Ditambah cuti melahirkan.
Soal cuti, menurut saya perusahaan sudah makin paham, refreshing adalah salah satu upaya mengurangi beban kerja. Pakerja yang gembira, seimbang mental dan spiritualnya terjaga kehidupan ekonominya, niscaya akan menjadi pekerja yang produktif. Gunakan hak cuti tanpa harus berdusta. Bukan cerita baru bahwa banyak yang mengambil cuti haid hari pertama dan hari kedua bukan karena haid.
Pengahpusan aturan cuti haid ini akan meningkatkan kompetisi di Industrialisasi dan lapangan kerja. Bahwa jenis kelamin bukan hambatan. Sekaligus menjadi pintu untuk peningkatan kesejahteraan karyawan.
Dengan tidak adanya cuti haid, perusahaan harus memastikan karyawan mendapat penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi diri dan keluarga pekerja. Dengan sendirinya akan ada peningkatan kesejahteraan.
Kalau benar, saya setuju! Saya bukan ahli hukum, saya cuma perempuan yang pernah bekerja di 3 perusahaan dalam rentang waktu 17 tahun. Dengan rincian 10 tahun di perusahaan pertama, 5 tahun di perusahaan kedua dan 2 tahun di perusahaan ketiga. Artinya saya pernah punya pengalaman sebagai pekerja.
Apakah sekarang saya sudah tidak bekerja? Tidak bekerja sebagai karyawan tetap, jawabnya iya. Tidak bekerja dalam pengertian berkantor, jawabnya iya. Tapi saya tetap bekerja dalam pengertian menghasilkan uang, sebagai pekerja lepas. Apakah selama saya bekerja saya pernah menggunakan hak cuti karena haid? Seingat saya, tidak pernah. Saya merasa rugi jika tidak bekerja.
Saya ingin menuliskan RUU Cipta kerja yang dibuat dengan Omnibus Law terdorong keinginan menyampaikan pendapat. Diterima syukur, tidak diterima tidak apa-apa. Setuju dengan pendapat saya ok, nggak setuju juga nggak apa-apa.
Saya tidak tahu, kelompok yang kontra sudah baca atau belum isi dari RUU tersebut. Soalnya Draft RUU Cipta Kerja ada 1028 halaman. Saya belum baca semua. Saya baru baca sebagian. Terutama poin-poin terkait dari tujuan dibuatnya RUU ini.
Saya mencoba berprasangka baik, saya beranggapan, ini bentuk perhatian negara pada pekerja dan pengusaha secara khusus dan kepada masyarakat secara umum. Ada yang puas dan ada yang tidak puas, adalah hal biasa. Karena memang tidak ada yang mampu memuaskan semua pihak.
Demikian juga mengenai rasa keadilan. Adil itu tidak selalu tidap oarng mendapat porsi yang sama. Bisa jadi ada yang mendapat prosi lebih besar dan ada yang mendapat porsi lebih kecil. Keadilan terjadi atau dirasakan disaat yang mendapat porsi besar ataupun yang mendapat porsi kecil, menerima dan sama-sama merasa cukup.
Kaum pekerja merasa RUU Cipta Kerja berpihak pada pengusaha. Benarkah? Hal-hal yang dikhawatirkan pekerja atas RUU Cipta Kerja di antaranya akan dihapusnya hak cuti haid.
Buat saya sebagai perempuan aturan yang memperbolehkan perempuan yang merasa sakit untuk tidak bekerja atau berhak mendapat cuti haid hari pertama dan hari kedua, justru sebagai sebuah kelemahan.
Bayangkan dalam setahun, pekerja (Perempuan dan laki-laki) mempunyai hak cuti 12 hari. Dengan tambahan cuti haid satu-dua hari, pekerja perempuan mendapat ekstra cuti 24 hari dalam sebulan? Jangan salahkan pengusaha yang lebih memilih pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan. Belum lagi cuti melahirkan. Hitung-hitungan di atas kertas, mempekerjakan pekerja perempuan merugikan.
Kita sama-sama tahu, buruh pabrik kebanyakan pekerja perempuan. Bayangkan kerugian yang terjadi jika dalam waktu yang bersama ada 100 buruh yang haid. Akan setiap hari ada yang haid hari pertama dan hariu kedua.
Saya pernah mengikuti suatu acara bincang-bincang yang menghadirkan beberapa buruh pabrik perempuan yang curhat. Bagaimana mereka menderita karena haid hari pertama dan hari kedua dalam keadaan sakit. Mulai dari sakit perut, demam, pusing, muntah bahkan pernah sampai pngsan tapi tetap harus masuk kerja.
Jujur, saya marah pada pengusaha yang membiarkan pekerjanya tetap bekerja walau dalam ke adaan sakit. Tapi kan harus dicari tahu, apakah kondisi-kondisi seperti itu (sakit hari pertama-kedua karena haid) terjadi sepanjang usianya Atau hanya kalau stamina tubuh kurang baik?).
Kalau rasa sakit karena haid di hari pertama dan hari kedua bisa diatasi, artinya pekerja bisa bekerja dengan kondisi tidak sakit. Kondisi sakit karena haid bisa dicari tahu dan sudah bisa diatasi. Saya yakin seyakin-yakinnya tidak ada yang mau sakit.
Sebagia manusia yang punya akal, begitu tubuh memberi tanda kurang sehat, maka yang bersangkutan akan mencari cara menghilangkan rasa sakit terbut. Baik dengan minum obat, istirahat/tidur atau makan yang baik.
Saya perempuan, saya Ibu, saya menjalani dan mengalami haid sejak usia 13 tahun. Semasa haid saya baik-baik saja. Saya baru mengalami sakit karena haid ketika kelas 3 SMA.
Setelah saya mencari tahu, mengapa bisa sakit saat haid ternyata karena saya mengurangi aktifitas fisik. Karena sudah kelas 3, almarhum ayah saya meminta saya mengurangi kegiatan di luar jam sekolah. Saya mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari pramuka hingga olahraga.
Berhenti total justru menyebabkan saya merasa nyeri saat haid. Karena sudah mendapat jawaban, tetap mengikuti permintaan almarhum ayah, saya melakukan olahraga senam/jogging di rumah dan meminum suplemen penambah darah. Setelah itu, saya tidak pernanh mengalami sakit lagi.
Zaman kian modern dan canggih. Banyak penemu-penemu hebat termasuk dalam bidang kesehatan. Haid yang sudah menjadi kodrat permepuan nggak seharusnya menjadi titik lemah atau kendalam dalam perempuan beraktifitas termasuk dalam hal bekerja. Maka tak ada alasan perempuan perlu mendapat cuti haid hari pertama atau hari kedua.
Maka saya katakan, Saya setuju RUU Cipta Kerja pada bagian cuti haid hari pertama hingga hari kedua dihapus. Karena kondisi ini mempersulit posisi pekerja perempuan jika dibandingkan dengan pekerja lak-laki.
Jadi jangan mengeluh atau banyak protes ketika dari 100 peluang kerja, 90 % diisi pekerja laki-laki. Karena memang merugikan kalau harus memperkerjakan perempuan yang memiliki hak cuti tambahan 200% lebih banyak dari pekerja laki-laki. Ditambah cuti melahirkan.
Soal cuti, menurut saya perusahaan sudah makin paham, refreshing adalah salah satu upaya mengurangi beban kerja. Pakerja yang gembira, seimbang mental dan spiritualnya terjaga kehidupan ekonominya, niscaya akan menjadi pekerja yang produktif. Gunakan hak cuti tanpa harus berdusta. Bukan cerita baru bahwa banyak yang mengambil cuti haid hari pertama dan hari kedua bukan karena haid.
Pengahpusan aturan cuti haid ini akan meningkatkan kompetisi di Industrialisasi dan lapangan kerja. Bahwa jenis kelamin bukan hambatan. Sekaligus menjadi pintu untuk peningkatan kesejahteraan karyawan.
Dengan tidak adanya cuti haid, perusahaan harus memastikan karyawan mendapat penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi diri dan keluarga pekerja. Dengan sendirinya akan ada peningkatan kesejahteraan.
No comments:
Post a Comment