Foto: Edi Wahyono
Jakarta - Perairan Natuna di Kepulauan Riau (Kepri) memiliki 'harta karun' yang mungkin belum diketahui banyak oleh masyarakat awam. Polemik Natuna memang sudah sejak lama terjadi, sampai pada akhirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menjadi pijakan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan wilayahnya di Natuna.
Pengadilan Internasional pun pada 2016 silam telah menegaskan bahwa klaim China atas Nine Dash Line atau 9 Garis Putus-putus yang ada sejak 1947 dinilai tidak mempunyai dasar historis. Namun, belakangan ini kapal-kapal nelayan China mengatasnamakan nine dash line untuk masuk ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau tanpa izin.
Indonesia pun tidak diam begitu saja, karena masalah ini menyangkut dengan kedaulatan negara. Garis putus-putus menjadi batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu ini membentang dari utara, menabrak laut Filipina, terus ke selatan, hingga mencaplok sebagian Perairan Natuna milik Indonesia.
Untuk itu, sebagai salah satu langkah menjaga Natuna yang 'seksi' itu, Presiden RI Joko Widodo pun mengajak Jepang dan Amerika Serikat (AS) untuk berinvestasi di sana. Orang nomor satu di Indonesia ini sudah bertemu langsung dengan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi dan CEO International Development Finance Corporation (DFC) Adam Boehler di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, kemarin Jumat (10/1/2020).
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menawarkan daftar potensi investasi yang sudah dirangkum oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Apa saja 'harta karun' RI atas perairan yang terletak di Kepulauan Riau (Kepri) tersebut?
Dalam pertemuan itu, Jokowi menawarkan langsung kepada Toshimitsu Motegi untuk berinvestasi di Natuna. Investasi yang ditawarkan adalah melanjutkan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu di sana.
Kekayaan alam yang tersimpan di Natuna begitu banyak. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diterima detikcom, Cumi-cumi menjadi komoditas laut dengan potensi hasil paling banyak. Setidaknya ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna.
"Di datanya itu, potensi per tahunnya lobster ada 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, rajungan 9.711 ton. Cumi-cumi paling banyak nih, dia ada 23.499 ton per tahun," ungkap Plt. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono kepada detikcom, Sabtu (4/1/2020).
Beberapa jenis ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkan antara lain ikan dari jenis kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi, dan sotong.
Tidak heran jika kapal asing sering wira-wiri ke Natuna. Selain China, puluhan ribu kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam juga dikabarkan pernah 'singgah' di Laut Natuna.
Sedangkan untuk investasi yang akan ditawarkan juga cukup banyak di sektor kelautan dan perikanan. Juru bicara KKP Miftah Sabri bilang ada beberapa proyek sektor kelautan dan perikanan yang sudah disepakati guna memperkuat kerja sama dengan Jepang dan AS.
Khusus untuk Jepang, di antaranya proyek pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) fase 2, pembangunan pelabuhan dan pasar ikan, peningkatan kapasitas untuk nelayan, pengawasan perikanan khususnya re-hibah kapal, pengembangan pariwisata, dan sektor energi.
"Amerika hampir sama. Ditambah dengan riset kelautan, konservasi alam dan oseanografi," jelas Miftah.
Selain itu, berdasarkan data KKP, ada tujuh pulau terluar yang pariwisatanya bisa dikembangkan. Pertama, Pulau Sekatung, Pulau Sebetul, Pulau Semiun, Pulau Tokongboro, Pulau Kepala, Pulau Subi Kecil, dan Pulai Senua.
Adapun ketujuh pulau terluar ini berbatasaan langsung dengan Malaysia dan Vietnam. Dari ketujuh pulau ini, ada empat pulau yang sudah disertifikasi hak pakai oleh KKP. Pertama Pulau Sekatung dengan luas hak pakai 4.355 m², Pulau Sebetul dengan luas hak pakai 1.918 m², Pulau Tokongboro dengan luas hak pakai 1.304 m², dan Pulau Subi Kecil dengan luas hak pakai 8.964 m².
Selain dengan cara mengajak dua negara maju tersebut menjadi tameng RI di sana, Indonesia juga punya upaya lain demi menjaga perairan tersebut.
Di antaranya yakni dengan meletakkan TNI Angkatan Laut (AL), Polair, serta Bakamla di perairan tersebut. Sektor perairan di sana juga dijaga oleh Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Direktur KPLP Ahmad menjelaskan ada pembagian penjagaan wilayah ZEE Indonesia di Natuna oleh berbagai lembaga. KPLP, kata Ahmad, bertugas untuk berpatroli hingga melakukan penegakan hukum bagi yang melanggar.
"Yang jelas kita menjaga, melakukan patroli, dan penegakan hukum. Itu fungsi dari kapa-kapal patroli kita. Juga di sana kan sudah ada Bakamla ada TNI Laut, dan di wilayahnya ada Polair. Ada pembagian-pembagian tugas untuk jaga kedaulatan dan fungsi lain," kata Ahmad di Kemenhub, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Ahmad mengatakan, pihaknya bersama lembaga lain terus berupaya untuk menjaga sektor kelautan, salah satunya melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal yang melanggar aturan. Meski begitu, tetap saja ada kapal yang melanggar.
"Sebelumnya sudah ada, ada beberapa. Di Kepri ada beberapa yang diproses di angkatan laut. Sudah ada," jelasnya.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan pihaknya bersama TNI AL, Polair, hingga Bakamla terus berupaya untuk menjaga wilayah perairan Indonesia.
"Kita hanya sekadar berpatroli mengadakan suatu pengawasan di Natuna. Dan kita juga pada saat, misal ada kapal anchor, itu yang tidak pada tempatnya, kita terbiasa memang kapal-kapal kita melakukan suatu pengusiran dan penangkapan. Jadi itu kan ada batas waktu, kalau melebihi batas waktu selain diusir juga diadakan suatu penangkapan, penegakan hukum, oleh kita, AL, maupun Polair," katanya.(dna/dna)
Sumber
Jakarta - Perairan Natuna di Kepulauan Riau (Kepri) memiliki 'harta karun' yang mungkin belum diketahui banyak oleh masyarakat awam. Polemik Natuna memang sudah sejak lama terjadi, sampai pada akhirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menjadi pijakan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan wilayahnya di Natuna.
Pengadilan Internasional pun pada 2016 silam telah menegaskan bahwa klaim China atas Nine Dash Line atau 9 Garis Putus-putus yang ada sejak 1947 dinilai tidak mempunyai dasar historis. Namun, belakangan ini kapal-kapal nelayan China mengatasnamakan nine dash line untuk masuk ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau tanpa izin.
Indonesia pun tidak diam begitu saja, karena masalah ini menyangkut dengan kedaulatan negara. Garis putus-putus menjadi batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu ini membentang dari utara, menabrak laut Filipina, terus ke selatan, hingga mencaplok sebagian Perairan Natuna milik Indonesia.
Untuk itu, sebagai salah satu langkah menjaga Natuna yang 'seksi' itu, Presiden RI Joko Widodo pun mengajak Jepang dan Amerika Serikat (AS) untuk berinvestasi di sana. Orang nomor satu di Indonesia ini sudah bertemu langsung dengan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi dan CEO International Development Finance Corporation (DFC) Adam Boehler di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, kemarin Jumat (10/1/2020).
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menawarkan daftar potensi investasi yang sudah dirangkum oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Apa saja 'harta karun' RI atas perairan yang terletak di Kepulauan Riau (Kepri) tersebut?
Dalam pertemuan itu, Jokowi menawarkan langsung kepada Toshimitsu Motegi untuk berinvestasi di Natuna. Investasi yang ditawarkan adalah melanjutkan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu di sana.
Kekayaan alam yang tersimpan di Natuna begitu banyak. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diterima detikcom, Cumi-cumi menjadi komoditas laut dengan potensi hasil paling banyak. Setidaknya ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna.
"Di datanya itu, potensi per tahunnya lobster ada 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, rajungan 9.711 ton. Cumi-cumi paling banyak nih, dia ada 23.499 ton per tahun," ungkap Plt. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono kepada detikcom, Sabtu (4/1/2020).
Beberapa jenis ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkan antara lain ikan dari jenis kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi, dan sotong.
Tidak heran jika kapal asing sering wira-wiri ke Natuna. Selain China, puluhan ribu kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam juga dikabarkan pernah 'singgah' di Laut Natuna.
Sedangkan untuk investasi yang akan ditawarkan juga cukup banyak di sektor kelautan dan perikanan. Juru bicara KKP Miftah Sabri bilang ada beberapa proyek sektor kelautan dan perikanan yang sudah disepakati guna memperkuat kerja sama dengan Jepang dan AS.
Khusus untuk Jepang, di antaranya proyek pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) fase 2, pembangunan pelabuhan dan pasar ikan, peningkatan kapasitas untuk nelayan, pengawasan perikanan khususnya re-hibah kapal, pengembangan pariwisata, dan sektor energi.
"Amerika hampir sama. Ditambah dengan riset kelautan, konservasi alam dan oseanografi," jelas Miftah.
Selain itu, berdasarkan data KKP, ada tujuh pulau terluar yang pariwisatanya bisa dikembangkan. Pertama, Pulau Sekatung, Pulau Sebetul, Pulau Semiun, Pulau Tokongboro, Pulau Kepala, Pulau Subi Kecil, dan Pulai Senua.
Adapun ketujuh pulau terluar ini berbatasaan langsung dengan Malaysia dan Vietnam. Dari ketujuh pulau ini, ada empat pulau yang sudah disertifikasi hak pakai oleh KKP. Pertama Pulau Sekatung dengan luas hak pakai 4.355 m², Pulau Sebetul dengan luas hak pakai 1.918 m², Pulau Tokongboro dengan luas hak pakai 1.304 m², dan Pulau Subi Kecil dengan luas hak pakai 8.964 m².
Selain dengan cara mengajak dua negara maju tersebut menjadi tameng RI di sana, Indonesia juga punya upaya lain demi menjaga perairan tersebut.
Di antaranya yakni dengan meletakkan TNI Angkatan Laut (AL), Polair, serta Bakamla di perairan tersebut. Sektor perairan di sana juga dijaga oleh Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Direktur KPLP Ahmad menjelaskan ada pembagian penjagaan wilayah ZEE Indonesia di Natuna oleh berbagai lembaga. KPLP, kata Ahmad, bertugas untuk berpatroli hingga melakukan penegakan hukum bagi yang melanggar.
"Yang jelas kita menjaga, melakukan patroli, dan penegakan hukum. Itu fungsi dari kapa-kapal patroli kita. Juga di sana kan sudah ada Bakamla ada TNI Laut, dan di wilayahnya ada Polair. Ada pembagian-pembagian tugas untuk jaga kedaulatan dan fungsi lain," kata Ahmad di Kemenhub, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Ahmad mengatakan, pihaknya bersama lembaga lain terus berupaya untuk menjaga sektor kelautan, salah satunya melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal yang melanggar aturan. Meski begitu, tetap saja ada kapal yang melanggar.
"Sebelumnya sudah ada, ada beberapa. Di Kepri ada beberapa yang diproses di angkatan laut. Sudah ada," jelasnya.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan pihaknya bersama TNI AL, Polair, hingga Bakamla terus berupaya untuk menjaga wilayah perairan Indonesia.
"Kita hanya sekadar berpatroli mengadakan suatu pengawasan di Natuna. Dan kita juga pada saat, misal ada kapal anchor, itu yang tidak pada tempatnya, kita terbiasa memang kapal-kapal kita melakukan suatu pengusiran dan penangkapan. Jadi itu kan ada batas waktu, kalau melebihi batas waktu selain diusir juga diadakan suatu penangkapan, penegakan hukum, oleh kita, AL, maupun Polair," katanya.(dna/dna)
Sumber
No comments:
Post a Comment