Pendekatan budaya dinilai sebagai solusi tepat dalam mengatasi kerusakan alam di Tanah Papua selama ini.
Pendekatan tersebut juga dinilai dapat menyentuh hati masyarakat untuk berpartisipasi mengatasi kerusakan ekosistem dan keragaman hayati, terlebih menjaga kelangsungan hidup warga setempat.
Pembantu Rektor III Uncen, Jhonathan Wororomi, menyebutkan bahwa kerusakan hutan yang berbuntut longsor dan banjir bandang tak hanya merusak ekosistem saja, melainkan menjadi petaka bagi kelangsungan hidup warga lokal.
Karena itu, seluruh stakeholder diajak untuk mengelola hutan dengan mengoptimalkan fungsi konservasi.
“Ketika hutan rusak bukan hanya pohon yang hilang atau banjir (bandang), tapi juga proses interaksi lingkungan dan aspek sosial, budaya, dan ini cukup complicated,” kata Jhonathan.
Pendekatan budaya menurutnya adalah sebuah aksi untuk menyelamatkan lingkungan hidup.
Yehuda Hamokwarong, Dosen Prodi Geografi Uncen, menilai banjir bandang Sentani, pada Maret 2019 lalu, ditengarai benturan budaya Tabi dan Lapago.
Suku Tabi memandang Gunung Cycloops sebagai tempat untuk berdoa dan memanjatkan syukur kepada Sang Pencipta. Sebaliknya, Suku Lapago menempatkan cagar alam tersebut sebagai tempat mencari penghidupan.
“Pendekatan budaya adalah cara tepat untuk mengatasi itu. Misalnya, warga yang berkebun di atas gunung itu diarakan agar berkebun di daerah penyangga,” kata Yehuda seraya mengajak kedua suku tersebut bekerja sama dalam pemulihan Cycloops.
Sementara, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura Yohanes Sugeng Huik mengatakan bahwa generasi muda memiliki peran besar dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan melindungi masyarakat.
Salah satu warga Kampung Sereh yang terletak di kaki Gunung Cycloops, Yesaya Eluay menyebutkan, rusaknya lingkungan di kawasan gunung tersebut akibat aktivitas perkebunan yang berlebihan. Umumnya warga berkebun di atas ketinggian 900 meter di permukaan laut.
Menurut Yesaya, banyaknya pohon besar yang tumbang akibat penebangan liar, beralih fungsi menjadi perkebunan masyarakat. Hal itu pun berdampak pada rusaknya sumber mata air. Dari 124 mata air yang mengalir sebelumnya, kini tersisa lima mata air saja.
“Dulu Cycloops dingin sekali, embunnya tebal membuat baju kita basah. Bahkan kalau kita masuk hutan harus pakai senter. Lihat pohon besar saja kami takut, namun saat ini itu semua tidak ada,” ungkap Yesaya.
Mari kita jaga dan cintai alam ini, agar alam juga mencintai kita.
No comments:
Post a Comment