JAKARTA – Para pejabat negara dalam membuka sambutan atau pidato umumnya mengucapkan salam atau kalimat pembuka dari semua agama. Namun, salam mempunyai keterkaitan dengan ajaran yang bersifat ibadah. Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur merujuk pada rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat.
Ketua MUI Jawa Timur, Kiai Abdusshomad Buchori menyatakan, agama adalah sistem keyakinan yang di dalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah aqidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain.
“Dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan,” katanya, Sabtu (9/11).
Lebih lanjut, ia menyatakan, dalam mengimplementasikan toleransi antarumat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip toleransi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda.
“Tapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing fihak yang berbeda,” ujarnya.
Kata Abdusshomad, Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama merujuk pada Al-Baqarah ayat 256. Kemudian prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri” Al-Kafirun ayat 6.
Selanjutnya, prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah Al-Mumtahanah ayat 8, dan prinsip berlaku adil kepada siapapun Al-Ma’idah ayat 8.
“Jika dicermati, salam adalah ungkapan do’a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, Assalaamu’alaikum yang artinya semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian,” katanya.
Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Salam umat Budha, “Namo buddaya”, artinya terpujilah Sang Budha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama.
Ungkapan pembuka dari agama Hindu, “Om swasti astu”. Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu “Sang Yang Widhi”. “Om”, seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut.
Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih artinya, “semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan”.
“Bahwa doa’ adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do’a,” ujarnya.
Maka, mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, Assalaamu’alaikum Wr Wb.
“Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya,” ucapnya. *
No comments:
Post a Comment