PDIP Perjuangan melihat bahwa sepertinya NasDem tidak menyukai pertemuan antara Jokowi-Prabowo juga Prabowo dengan Megawati.
Kondisi tersebut semakin terlihat dan menunjukkan kalau partai pimpinan Surya paloh itu ingin bermain derasnya arus dinamika politik.
Bahkan PDIP meminta Nasdem menjadi oposisi dengan alasan seperti diatas.
Desakan politisi PDIP agar Nasdem keluar dari koalisi dan menjadi oposisi dinilai akibat dinamika politik yang dilakukan Nasdem atas bergabungnya Partai Gerindra.
“Saya terkejut amat sangat terkejut ternyata Nasdem lagi menyiapkan diri untuk jadi oposisi yang sesungguhnya, bahasa-bahasa yang dikeluarkan saudara saya ini (Akbar Faizal) adalah bahasa-bahasa oposisi, dan lebih baik keluar dari koalisi itu lebih bagus. Kedua, atau mungkin Nasdem takut ketinggalan? (Sehingga) kegundahan itu dimunculkan ke permukaan bahwa dia akan takut kehilangan. Ini lah yang membuat sedih,” kata Kapitra Ampera di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) TVOne, Selasa (30/7/2019) lalu.
Sementara itu Director for Presidential Studies-DECODE UGM, Nyarwi Ahmad menjelaskan, mengenai dinamika politik Nasdem yang semakin terlihat adanya perpecahan di Koalisi Indonesia kerja (KIK).
“Nah kalau itu kondisinya kesana (oposisi di dalam koalisi) itu ada kemungkinan, artinya oposisi ya, ya semacam kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan yang kemudian itu juga ada,” ucap Nyarwi Ahmad dilansir dari RMOL, Kamis (1/8).
Namun, kekuatan oposisi tidak akan kuat jika Partai Nasdem hanya sendiri. Berbeda hal ketika langkah Nasdem untuk menjadi oposisi diikuti oleh partai politik (parpol) anggota koalisi lainnya.
“Kalau Nasdem sendirian begitu itu tidak terlalu beresiko atau membahayakan tim pak Jokowi, tetapi kalau misalnya sikap Nasdem itu diikuti oleh partai besar lainnyaya seperti Golkar mungkin secara kolektif empat partai itu ya paling enggak itu cukup mengurangi basis dukungan bagi pak Jokowi,” jelasnya.
Menurutnya kekuatan oposisi dalam koalisi belum akan terjadi dalam waktu dekat karena Partai Nasdem masih berusaha mendapatkan kursi kabinet maupun jabatan lain. Ia mengaskan bahwa kekuatan oposisi dalam koalisi kemungkinan akan terjadi dua tahun menjelang Pilpres 2024.
Sementara itu Dwi Ria Latifa menganggap pernyataan politisi Nasdem Akbar Faizal di ILC sebagai ucapan ketidaksukaan pertemuan antara Presiden terpilih Jokowi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, termasuk Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Yang disampaikan Bang Akbar Faizal begitu menggebu-gebunya yang dibahas tentang kabinet dan ketidaksukaan terhadap pertemuan antara Bu Mega dengan Pak Prabowo atau Pak Jokowi dengan Pak Prabowo, bahwa seolah-olah pertemuan itu kemudian ditafsirkan akan membuat satu masalah buat Nasdem atau buat Bang Akbar, apa ini maksudnya?” ucap Dwi.
Padahal yang dibahas dari awal, lanjut Dwi Ria Latifa, bagaimana keindahan dari pertemuan tokoh bangsa, yang pada pemilu lalu ribut sampai ke akar rumpul. Pertemuan ini lanjutnya telah membuat kesejukan di tengah masyarakat, “lalu kenapa komplain. Dia minta Nasdem jujur, yang dikhawatirkan sebenarnya apa, apakah persolan kursi.
No comments:
Post a Comment