Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk mengupayakan biaya energi yang kompetitif bagi pelaku industri, baik untuk harga gas maupun tarif listrik guna memacu produktivitas dan daya saing sektor manufaktur.
“Struktur biaya energi berkaitan dengan banyak komponen, di antaranya biaya pokok, biaya transportasi, penerimaan negara bukan pajak, biaya investasi, margin, dan biaya operasional,” kata Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar lewat keterangannya di Jakarta, Selasa.
Haris optimistis apabila pasokan bahan baku dan energi terjamin, aktivitas industri manufaktur akan semakin menggeliat.
“Selama ini kita ketahui sektor industri konsisten memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dampak berantai dari industrialisasi meliputi peningkatan penyerapan tenaga kerja serta penerimaan devisa dari investasi dan ekspor,” tuturnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan masih menjadi penyumbang signifikan terhadap struktur produk domestik bruto (PDB) nasional hingga 20,07 persen pada triwulan I tahun 2019. Jumlah tersebut naik dibanding capaian sepanjang tahun 2018 sebesar 19,86 persen.
“Dengan capaian 20 persen tersebut, berdasarkan laporan World Bank, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G20. Bahkan, Indonesia hampir sejajar dengan Jerman, yang kontribusi sektor manufakturnya berada di angka 20,6 persen,” ungkapnya.
Menurut Haris, negara-negara industri di dunia saat ini, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Mereka itu antara lain Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Prancis, Kanada dan Inggris.
Sedangkan, kontribusi manufakturnya yang tertinggi ditempati oleh China (28,8 persen), kemudian disusul Korea Selatan (27 persen) dan Jepang (21 persen).
Haris menambahkan industri manufaktur merupakan salah satu sektor yang menggelontorkan dananya cukup besar bagi total investasi di Indonesia.
Pada triwulan I 2019 penanaman modal dari sektor industri manufaktur memberikan kontribusi mencapai Rp44,06 triliun.
“Dari peningkatan investasi itu, terjadi pertumbuhan industri. Tentunya menambah jumlah tenaga kerja lokal. Saat ini, industri menyerap hingga 18 juta orang. Selain itu, investasi juga memperdalam struktur sektor manufaktur kita. Sehingga kami berharap industri tersebut dapat memacu ekspor dan menjadi substitusi impor,” paparnya.
Sementara itu pada triwulan I 2019 nilai ekspor dari industri manufaktur mampu menembus hingga 30 miliar dolar AS. Capaian ini berkontribusi sebesar 69 persen terhadap total nilai ekspor nasional.
“Artinya, produk-produk manufaktur kita menyumbang devisa yang cukup besar. Selain itu juga menunjukkan industri nasional telah berdaya saing di kancah global,” imbuh Haris.
Untuk lebih mendobrak pasar ekspor, Kemenperin telah memiliki peta jalan Making Indonesia 4.0, yang mendorong industri manufaktur nasional agar memanfaatkan teknologi industri 4.0. Upaya ini guna memacu inovasi produk yang berkualitas.
Salah satu sektor yang digenjot untuk mendongkrak nilai ekspornya adalah industri keramik. Namun demikian, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) berharap mendapatkan harga gas yang kompetitif.
Hal ini sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Menurut Asaki, saat ini harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat 9,16 dolar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Adapun di Jawa bagian timur harganya 7,98 dolar AS per MMBTU dan di Sumatera sebesar 9,3-10 dolar AS per MMBTU.
Apabila membandingkan di negara tetangga seperti Malaysia, harga gas industri sekitar 7,85 dolar AS hingga 8 dolar AS per MMBTU, sedangkan Thailand di angka 8,8 dolar AS per MMBTU.
No comments:
Post a Comment