Jakarta – Ditubuh KPK terdapat oknum ‘Taliban’ yang bekerja tidak secara professional, independen dan proporsional. Oknum tersebut lebih menyasar pada kelompok dan pihak yang dianggap rival atau tidak sesuai dengan paham dan ideologinya.
Ini kentara jelas bahwa di KPK telah terjadi perpecahan, salah satunya adalah kemunculan oknum Taliban yang cenderung bermain politik yang justru banyak menargetkan orang-orang di pemerintahan sekarang, sehingga bisa dipastikan bahwa kasus dana patung bambu yang melibatkan Gubernur DKI tak akan pernah tersentuh oleh KPK selama didalamnya masih terdapat oknum Taliban yang tebang pilih.
Bahkan di dunia maya seorang netizen mengomentari cuitan netizen lainnya yang membagikan sebuah artikel berjudul “Bukan Rp 550 Juta, Seniman Getah Getih: Produksi Tak Sampai Rp 300 Juta” yang tayang di Suara.com.
“Selama polisi Taliban dgn “klan tertentu” masih bersarang di KPK …. rasanya pesimis @DKIJakarta akan tersentuh….”sambil memperihatkan perbandingan instalasi bambu hetih getah dengan patung Bambu di Bali yang cuma harganya Rp 10 juta namun terukir dengan bagus.
Sementara Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane bicara soal isu perseteruan antara polisi Taliban dengan polisi India di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Neta menekankan bahwa ketegasan para pimpinan KPK diperlukan untuk menjaga soliditas KPK.
Neta bahkan menuding KPK juga bermain politik. Dia menyebut KPK seolah ‘menargetkan’ orang-orang yang ada di kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 01.
“Sejak Desember sampai bulan ini, sebagian besar target OTT KPK pendukung 01. Alasannya apa? Ya mereka yang tahu,” sebut Neta.
“Tapi analisa kami, mereka ini kayanya bermain politik saat masyarakat terpecah antara 01 dan 02. Kemudian mereka ikut-ikutan terbelah. Sebenarnya mereka harusnya independen, tetap pada kerja profesional mereka,” imbuhnya.
Neta menegaskan bahwa KPK tidak boleh berpihak. Dia meyakini di pemilu dan pilpres tahun ini banyak ‘uang’ yang mengalir.
“Ketika ada info, siapapun harus di OTT. Jangan hanya kubu tertentu. Ini jadi pertanyaan kita, apakah hanya satu kubu yang pendukungnya melakukan korupsi? Di pileg dan pilpres, kita tahu uang mengalir dari mana-mana ke mana,” jelasnya.
Neta meminta kepada lima pimpinan KPK untuk segera menyelesaikan konflik di internal mereka. Sebab, menurutnya, perpecahan di tubuh KPK menjadi keuntungan bagi para koruptor.
“Tantangan KPK yang harus diselesaikan internal adalah mereka harus profesional, independen dan proporsional. Ketegasan daripada komisioner, jangan sampai ada penyidik atau anggota KPK bermain politik. Jangan sampai KPK dijadikan alat balas dendam kelompok politik tertentu untuk membalas lawan-lawan politik mereka dan melindungi kawan-kawan politiknya,” tegas Neta.
Ini kentara jelas bahwa di KPK telah terjadi perpecahan, salah satunya adalah kemunculan oknum Taliban yang cenderung bermain politik yang justru banyak menargetkan orang-orang di pemerintahan sekarang, sehingga bisa dipastikan bahwa kasus dana patung bambu yang melibatkan Gubernur DKI tak akan pernah tersentuh oleh KPK selama didalamnya masih terdapat oknum Taliban yang tebang pilih.
Bahkan di dunia maya seorang netizen mengomentari cuitan netizen lainnya yang membagikan sebuah artikel berjudul “Bukan Rp 550 Juta, Seniman Getah Getih: Produksi Tak Sampai Rp 300 Juta” yang tayang di Suara.com.
“Selama polisi Taliban dgn “klan tertentu” masih bersarang di KPK …. rasanya pesimis @DKIJakarta akan tersentuh….”sambil memperihatkan perbandingan instalasi bambu hetih getah dengan patung Bambu di Bali yang cuma harganya Rp 10 juta namun terukir dengan bagus.
Sementara Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane bicara soal isu perseteruan antara polisi Taliban dengan polisi India di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Neta menekankan bahwa ketegasan para pimpinan KPK diperlukan untuk menjaga soliditas KPK.
Neta bahkan menuding KPK juga bermain politik. Dia menyebut KPK seolah ‘menargetkan’ orang-orang yang ada di kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 01.
“Sejak Desember sampai bulan ini, sebagian besar target OTT KPK pendukung 01. Alasannya apa? Ya mereka yang tahu,” sebut Neta.
“Tapi analisa kami, mereka ini kayanya bermain politik saat masyarakat terpecah antara 01 dan 02. Kemudian mereka ikut-ikutan terbelah. Sebenarnya mereka harusnya independen, tetap pada kerja profesional mereka,” imbuhnya.
Neta menegaskan bahwa KPK tidak boleh berpihak. Dia meyakini di pemilu dan pilpres tahun ini banyak ‘uang’ yang mengalir.
“Ketika ada info, siapapun harus di OTT. Jangan hanya kubu tertentu. Ini jadi pertanyaan kita, apakah hanya satu kubu yang pendukungnya melakukan korupsi? Di pileg dan pilpres, kita tahu uang mengalir dari mana-mana ke mana,” jelasnya.
Neta meminta kepada lima pimpinan KPK untuk segera menyelesaikan konflik di internal mereka. Sebab, menurutnya, perpecahan di tubuh KPK menjadi keuntungan bagi para koruptor.
“Tantangan KPK yang harus diselesaikan internal adalah mereka harus profesional, independen dan proporsional. Ketegasan daripada komisioner, jangan sampai ada penyidik atau anggota KPK bermain politik. Jangan sampai KPK dijadikan alat balas dendam kelompok politik tertentu untuk membalas lawan-lawan politik mereka dan melindungi kawan-kawan politiknya,” tegas Neta.
No comments:
Post a Comment