Setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecek langsung satu persatu
dari 12 kota/kabupaten yang mengusulkan untuk pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), 4 (empat) kabupaten/kota dinyatakan siap
untuk melaksanakan PLTSa.
“Mudah- mudahan tahun ini ada yang bisa selesai, yaitu di antaranya adalah Surabaya, Bekasi dan Solo yang progresnya cukup baik. Kemudian yang sudah mulai adalah DKI Jakarta,” kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung kepada wartawan usai Rapat Terbatas Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (16/7) sore.
Daerah lain yang sebenarnya persoalannya relatif sudah tertangani dengan baik, menurut Seskab, adalah Bali. Karena itu, dalam kesempatan tersebut Seskab didampingi oleh Sekda dan juga Wakil Wali kota Denpasar.
Seskab Pramono Anung menjelaskan, persoalan sampah ini sudah cukup lama karena memang ada perbedaan persepsi, pandangan antara PLN (Perusahaan Listrik Negara) dengan daerah-daerah yang ada.
“Tadi presiden menegaskan… karena Perpresnya sudah ada. Hitungannya sudah ada, Rp13 koma sekian per KWH, maka itulah yang dijadikan acuan. Maka diminta kepada PLN dalam hal ini perhitungannya bukan berdasarkan keuntungan tetapi sekali lagi adalah dalam rangka untuk pembersihan sampah di kota-kota yang ada,” jelas Seskab.
Ia menunjuk contoh misalnya, di Bekasi itu sudah hampir 1.700 ton per hari. Belum yang 8.000 ton per hari dari Bantar Gebang, dari Bekasi sendiri sudah cukup tinggi. Sehingga dengan demikian 4 kota prioritas, yaitu Surabaya, Bekasi, Solo, DKI akan dikawal secara langsung oleh Presiden untuk penyelesaiannya, kemudian yang kelima adalah Bali. Sedangkan 7 daerah lainnya diminta untuk membuat prototype sama dengan daerah-daerah yang lain.
Persoalan yang ada, lanjut Seskab selalu klasik, yaitu persoalan tipping fee, karena setiap daerah, hal yang berkaitan dengan tipping fee atau biaya pengelolaan sampah ini berbeda-beda. Jawa Timur misalnya cukup murah, hanya sekitar Rp150.
Padahal, menurut Seskab, tipping fee di dalam Perpres sudah diatur maksimum sebesar-besarnya adalah Rp500. Sehingga sudah ada payung hukumnya. Tetapi semuanya tidak berani mengambil posisi, mengambil kebijakan karena takut persoalan hukum dan sebagainya.
“Maka Presiden menegaskan bahwa risalah rapat pada hari ini adalah merupakan payung hukum, termasuk payung hukum di dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada di dalam penyelesaian sampah,” jelas Seskab seraya berharap, mudah-mudahan dengan demikian 5 daerah ini segera selesai, 7 daerah segera bisa mengikuti karena Perpresnya sudah sangat jelas terhadap hal tersebut.
Persoalan Serius
Menjawab pertayaan wartawan, Seskab Pramono Anung mengemukakan, masalah penanganan LTSa ini memang berbeda-beda. Ia mengambil contoh DKI Jakarta misalnya tentunya persoalan sampah sangat serius. Karena itu, di DKI sendiri, hampir 2.000 yang siap untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga sampah, sedangkan di daerah lain rata-rata itu 1.000 ton sudah cukup, seperti Solo.
Nah, Bekasi karena penyangga Jakarta dan kemudian juga Tangerang Selatandan Kota Tangerang, maka sampahnya cukup besar. Dan sampah ini menjadi persoalan yang yang cukup serius di beberapa kota besar, maka pembangkit listrik tenaga sampah dalam rangka menyelesaikan persoalan itu.
“Jadi persoalan sampah harus diutamakan bukan persoalan keuntungan yang diperoleh secara pembangkit listriknya,” pungkas Seskab.
Sumber : https://setkab.go.id/4-kota-sudah-siap-seskab-tipping-fee-jadi-masalah-klasik-pembangunan-pltsa/
“Mudah- mudahan tahun ini ada yang bisa selesai, yaitu di antaranya adalah Surabaya, Bekasi dan Solo yang progresnya cukup baik. Kemudian yang sudah mulai adalah DKI Jakarta,” kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung kepada wartawan usai Rapat Terbatas Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (16/7) sore.
Daerah lain yang sebenarnya persoalannya relatif sudah tertangani dengan baik, menurut Seskab, adalah Bali. Karena itu, dalam kesempatan tersebut Seskab didampingi oleh Sekda dan juga Wakil Wali kota Denpasar.
Seskab Pramono Anung menjelaskan, persoalan sampah ini sudah cukup lama karena memang ada perbedaan persepsi, pandangan antara PLN (Perusahaan Listrik Negara) dengan daerah-daerah yang ada.
“Tadi presiden menegaskan… karena Perpresnya sudah ada. Hitungannya sudah ada, Rp13 koma sekian per KWH, maka itulah yang dijadikan acuan. Maka diminta kepada PLN dalam hal ini perhitungannya bukan berdasarkan keuntungan tetapi sekali lagi adalah dalam rangka untuk pembersihan sampah di kota-kota yang ada,” jelas Seskab.
Ia menunjuk contoh misalnya, di Bekasi itu sudah hampir 1.700 ton per hari. Belum yang 8.000 ton per hari dari Bantar Gebang, dari Bekasi sendiri sudah cukup tinggi. Sehingga dengan demikian 4 kota prioritas, yaitu Surabaya, Bekasi, Solo, DKI akan dikawal secara langsung oleh Presiden untuk penyelesaiannya, kemudian yang kelima adalah Bali. Sedangkan 7 daerah lainnya diminta untuk membuat prototype sama dengan daerah-daerah yang lain.
Persoalan yang ada, lanjut Seskab selalu klasik, yaitu persoalan tipping fee, karena setiap daerah, hal yang berkaitan dengan tipping fee atau biaya pengelolaan sampah ini berbeda-beda. Jawa Timur misalnya cukup murah, hanya sekitar Rp150.
Padahal, menurut Seskab, tipping fee di dalam Perpres sudah diatur maksimum sebesar-besarnya adalah Rp500. Sehingga sudah ada payung hukumnya. Tetapi semuanya tidak berani mengambil posisi, mengambil kebijakan karena takut persoalan hukum dan sebagainya.
“Maka Presiden menegaskan bahwa risalah rapat pada hari ini adalah merupakan payung hukum, termasuk payung hukum di dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada di dalam penyelesaian sampah,” jelas Seskab seraya berharap, mudah-mudahan dengan demikian 5 daerah ini segera selesai, 7 daerah segera bisa mengikuti karena Perpresnya sudah sangat jelas terhadap hal tersebut.
Persoalan Serius
Menjawab pertayaan wartawan, Seskab Pramono Anung mengemukakan, masalah penanganan LTSa ini memang berbeda-beda. Ia mengambil contoh DKI Jakarta misalnya tentunya persoalan sampah sangat serius. Karena itu, di DKI sendiri, hampir 2.000 yang siap untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga sampah, sedangkan di daerah lain rata-rata itu 1.000 ton sudah cukup, seperti Solo.
Nah, Bekasi karena penyangga Jakarta dan kemudian juga Tangerang Selatandan Kota Tangerang, maka sampahnya cukup besar. Dan sampah ini menjadi persoalan yang yang cukup serius di beberapa kota besar, maka pembangkit listrik tenaga sampah dalam rangka menyelesaikan persoalan itu.
“Jadi persoalan sampah harus diutamakan bukan persoalan keuntungan yang diperoleh secara pembangkit listriknya,” pungkas Seskab.
Sumber : https://setkab.go.id/4-kota-sudah-siap-seskab-tipping-fee-jadi-masalah-klasik-pembangunan-pltsa/
No comments:
Post a Comment