Ketua Umum Putra-Putri Jawa Kelahiran Sumatra, Sulawesi, dan Maluku
(Pujakessuma) Nusantara, Suhendra Hadikuntono, menegaskan menolak wacana
referendum Aceh sebagaimana dilontarkan mantan Wakil Gubernur Aceh yang
juga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf.
Suhendra mengaku siap mengerahkan 23 juta anggotanya yang tersebar di
Sumatra, Sulawesi, dan Maluku untuk menolak referendum Aceh.
“Kita siap show of force untuk menolak referendum Aceh demi keutuhan
NKRI. Lepasnya Timor Timur jangan sampai terjadi lagi di wilayah lain,”
tegasnya di Jakarta, Sabtu (1/6).
Suhendra mengatakan, secara yuridis ide referendum Aceh tak memiliki
pijakan, karena sejumlah aturan yang bisa menjadi landasannya
sebagaimana referendum Timor Timur telah dicabut.
“NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati. Wacana
memisahkan diri dengan NKRI melalui referendum adalah makar, sehingga
kita tolak,” tegasnya di Jakarta, Sabtu (1/6).
Dijelaskannya, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP
MPR) RI Nomor 8 Tahun 1998 yang isinya mencabut TAP MPR RI No 4 Tahun
1993 tentang Referendum, dan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 1999 yang
mencabut UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
“Jadi isu referendum di dalam hukum positif di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” jelasnya.
Selain itu, menurut Pendiri Hadiekuntono Institute
(reseach-intelligent-spiritual) ini menyebut ide referendum Aceh itu
bisa ditafsirkan sebagai ajakan makar atau memisahkan diri dari NKRI,
sehingga pelakunya bisa dijerat dengan hukuman mati.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Suhendra, makar
punya beberapa arti, yakni akal busuk atau tipu muslihat; perbuatan
atau usaha dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan
sebagainya; dan perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang sah.
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), lanjut
Suhendra, makar adalah kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan
makar, tegas Suhendra, diatur KUHP di Pasal 104, 107 dan 108.
“Ancaman pidana terhadap penggerak makar adalah hukuman mati,” katanya.
Sedangkan secara politik, kata Suhendra, sebagai bagian dari
demokrasi, ide referendum itu sah-sah saja, namun secara yuridis tidak
bisa diterapkan, karena segala aturan yang mengatur tentang referendum
telah dicabut.
“Pendek kata, wacana referendum Aceh itu inkonstitusional,” katanya.
Namun, secara psikologis, tambah Suhendra, ide referendum yang
dilontarkan Muzakir Manaf tak lebih dari manifestasi atas kekecewaannya
terhadap hasil Pemilihan Umun 2019, baik pemilihan umum legislatif
maupun pemilihan umum presiden.
Sebelumnya, Muzakir Manaf yang juga mantan Ketua Komite Peralihan
Aceh melontarkan wacana referendum Aceh dengan opsi lepas atau tetap
menjadi bagian RI. Ia khawatir Indonesia akan dijajah asing, dan juga
kecewa karena banyak poin dalam Perjanjian Helsinki antara GAM dan RI
yang tak dilaksanakan Pemerintah RI.
Secara nasional pasangan capres dan cawapres yang didukung Partai
Aceh, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kalah dari pasangan petahana Joko
Widodo-KH Maruf-Amin dalam Pilpres 2019 dengan perolehan suara 44,50%
berbanding 55,50%.
No comments:
Post a Comment