Proses menuju pesta demokrasi di tahun 2019 ini, bangsa Indonesia dihadapkan oleh sejumlah tantangan, hambatan dan permasalahan yang kompleks. Berbagai narasi-narasi kebencian mewarnai proses demokrasi kita, hal ini memuncak pada fenomena penyebaran berita atau informasi bohong atau yang biasa disebut hoaks. Merujuk pada hasil survei Mastel 2016, berkaitan dengan hoaks, dinyatakan bahwa 44,30 persen dari setiap kita menerima berita hoaks setiap hari dengan jenis hoaks yang paling sering diterima adalah kebohongan dalam aspek sosial dan politik (91,80 persen) (Hiernimus Dei Rupa, Kompas, 15/2/2019). Fakta besarnya volume hoaks ini menunjukan bahwa pesta demokrasi kita telah tercoreng dan harus segera mendapat perhatian dan solusi.
Penyebaran hoaks marak sejalan dengan proses menuju pemilu 2019, simpatisan politik mulai megahalalkan segala cara untuk dapat menggiring opini massa dan menarik perhatian publik demi tercapaianya cita-cita politiknya. Saling serang antar kubu dan lawan politik melalui hoaks sering terjadi di media sosial sebab pengguna media sosial di Indonesia sangatlah tinggi sehingga dirasa efektif untuk penyebaran hoaks. Oleh karenanya perlu pengetahuan yang mendasar dan mendalam tentang akar permasalahan merebaknya hoaks di tahun politik, sehingga upaya pencegahannya sangat solutif.
Akar Produksi Hoaks
Tahun politik ini bersamaan dengan tahun memuncaknya era informasi. Semua manusia mampu memproduksi informasi dan menciptakan kontennya sendiri. Informasi diproduksi sesuai dengan kepentingan dan kerap mengindahkan aspek data dan fakta, oleh karenanya sangat mudah terjadi klaim-klaim kebenaran atas individu maupun kelompok. Klaim-klaim atas ‘kebenaran’ inilah awal pertama munculnya produksi hoaks. Klaim atas ‘kebenaran’ pengaruhnya paling kuat bersumber dari doktrin atas dogma-dogma politik tertentu, salah satu implikasinya adalah setiap memandang lawan politik selalu diposisikan sebagai musuh yang tidak memiliki ‘kebenaran’ dan harus dikalahkan. Dari sinilah hoaks menjadi kendaraan strategis dalam memperkuat legitimasi dan klaim-klaim ‘kebenaran’ atas pandangan politiknya.
Produksi hoaks kedua ditengarai berakar pada sebuah sikap fanatisme berlebihan, sikap ini menutup semua akses kepedulian antar manusia. Fanatisme pada pandang politik berpengaruh membutakan nalar dan rasio, karena hanya ada satu kata dalam pikirannya yaitu ‘kekuasaaan’. Fanatisme menyebabkan perilaku agresif dan tidak terkontrol, segala cara apapun dilakukan salah satunya produksi hoaks, dengan menyebar hoaks pada publik, jalan menuju ‘kekuasaan’ semakin terbuka. Persepsi publik dikuasai untuk menjatuhkan lawan politiknya melalui hoaks. Sikap ini berlawanan pada filosofi manusia Indonesia dan prinsip demokrasi yang selalu memihak pada kemanusiaan bukan pada kekuasaan.
Indikasi terakhir akar produksi hoaks yaitu pikiran kolektif yang dikuasi oleh spirit permusuhan dan konflik. Pikiran tersebut menjadikan situasi perpolitikan tidak kondusif dan pada akhirnya tidak ada ruang kreatif yang konstruktif untuk kemajuan ideologi politik yang diusung. Simpatisan harusnya memiliki ide-ide kreatif untuk menunjukan ideologi politiknya baik dengan metode maupun paparan konseptualnya. Macetnya kreatifitas ini tidak lain karena ruang kontestasi politik selalu diselimuti permusuhan dan konflik sehingga hoaks menjadi pilihan mereka. Hoaks menjadi bukti dunia politik kita tumpul kreatifitas, tidak ada cara lain selain “berbohong’ demi sebuah kekuasaan.
Pendekatan Solutif
Premis-premis yang menjadi akar produksi hoaks di atas mendesak perlunya perhatian dan pendekatan solutif. Mengingat pesta demokrasi yang akan berlangsung ini, menentukan nasib bangsa ke depan. Ajuan pemecahan harus merujuk dari akar permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya. Terkait dengan permasalahan pertama yaitu tentang klaim ‘kebenaran’ yang menjadi pemicu hoaks, pendekatan yang harus ditempuh yaitu dengan mengelola kesadaran kognitif, dari sana kita harus dikenalkan apa yang disebut ‘tenggang rasa’ bahwa ‘kebenaran’ tidaklah anggapan tunggal, ‘kebenaran’ bukan segala-segalanya, dan ‘kebenaran’ sangat relatif dan terus selalu dicari. ‘Kebenaran’ jika sudah madheg atau berhenti berpotensi menjadi kekuasaan dan memiliki potensi untuk menyebarkan hoaks untuk mempertahankan kekuasan tersebut. Oleh karenanya simpatisan politik pengusung pilpres tahun ini, bukan bertendensi merasa ‘benar’ yang harus dipertahankan karena ini rawan kekerasan, kebencian dan produksi hoaks, melainkan justru harus bertendesi etika kebaikan, kesantunan, dan kebijaksanaan. Apabila masing-masing dikognisinya sudah merasa paling ‘benar’ pada pilihan politiknya, pada saat itu juga diskriminasi telah beroperasi dan sebaliknya. Manajemen kognisi haruslah selalu dijaga, yang berbeda pandangan politik janganlah dilihat sebagai ancaman, tapi harus dilihat bagian dari proses demokrasi.
Lebih lanjut, produksi hoaks yang mengakar pada fanatisme berlebihan pada ideologi politik dan calon pemimpin yang diusung harus disikapi dengan bijak melalui kesadaran kemajemukan dan pluralisme. Fanatisme yang berujung pada penyebaran hoaks diterngarahi karena rendahnya semangat pluralisme dan kemajemukan. Mereka tunduk pada satu keyakinan tunggal, tidak menyadari bahwa perpolitikan di negeri dibangun dari kebersamaan dan kemajemukan untuk satu tujuan. Kesadaran tersebut tersirat pada falsafah negara kita yaitu pancasila dan kebhinekaan. Oleh karenanya produksi hoaks yang mengakar pada fanatisme berlebihan hendaknya perlu merefleksikan kembali hakekat pluraisme dan falsafah kebhinekaan sebagai landasaan perpoltikan bangsa ini. Falsafah bangsa ini tidak pernah diikutkan dalam kontestasi politik kita apalagi di hayati, karena falsafah pancasila dan kebhinekaan hanya tumbuh di tingkat pendidikan dasar.
Akar permasalahan terkahir yaitu hoaks terjadi karena perpolitikan kita selalu dibangun dari konflik dan permusuhan, maka sebaiknya kita perlu menyadari bahwa konflik selalu mengubur kreatifitas. Politik perlu kreatifitas dalam arti poltik harus menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda. Kampanye politik harus konstrukstif bukan destruktif, sifat konstruktif ini membuthkan proses kreatif. Sementara, sesuatu yang konstruktif, baru dan berbeda itu hanya dihasilkan jika kita keluar dari pikiran kolektif tentang konflik dan permusuhan. Perpolitikan kita sibuk memikirkan konflik, permusuhan dan intervensi lawan politik, sehingga untuk mendapatakan inovasi politik yang merupakan hasil dari proses kreatifitas mandeg atau berhenti.
Pada akhirnya pendekatan-pendekatan yang diajukan atas produksi hoaks tersebut berkedudukan refleksi filosofis yang masih perlu diteruskan pada perilaku praktis. Artinya secara singkat, kesadaran individu tentang esensi poltik haruslah berdasar pada asas kemanusian, kemajemukan, falsafah bangsa, dan kreatifitas. Dengan memulai kesadaran-kesadaran tersebut kita berharap konstestasi politik di tahun ini terhindar dari virus dan penyebaran hoaks. Melawan hoaks bukan hanya kerja ‘individual’ melainkan kerja ‘sosial’ yang melibat ‘kerja sama’. (FB)
No comments:
Post a Comment