Dalam redaksi hadis, diceritakan bahwa Rasul mengancam Allah saat perang badar, ada riwayat lain yang tidak seperti demikian.
“Menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir, ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu, ya Allah.” Demikian sepenggal isi puisi Neno Warisman dalam Munajat 212.
Bisa jadi, munajat Neno itu terinspirasi dari doa Nabi Muhammad SAW saat Perang Badar. Bagaimana ceritanya Neno bisa terinspirasi doa itu?
Kan, kata Amien Rais pada momen Jokowi vs. Prabowo Jilid I 2014 lalu, PAN akan menggunakan mental Perang Badar dalam menghadapi pilpres 2014 itu.
Apa itu mental Perang Badar? Yaitu berjuang dulu, baru menang, baru bagi-bagi jatah rampasan perang. Itu untuk membedakan dengan mental Perang Uhud: dalam perang itu, pasukan muslim tidak menang karena tergoda kepentingan duniawi.
Nah, mungkin Neno pernah tahu Amien Rais menggunakan istilah Perang Badar dalam perkara pilpres, terus Neno googling soal Perang Badar, terus Neno tahu dalam Perang Badar itu Nabi pernah berdoa, terus doa Nabi itu jadi inspirasi Neno dalam Munajat 212 kemarin, terus viral deh.
Mungkin begitu alurnya. Mungkin ya. Saya hanya menduga semi mengarang. Untuk pastinya, silakan tanya Neno.
Tapi, bukan soal puisi Neno yang layak dibahas. Lebih berfaidah jika kita kaji doa Nabi saat Perang Badar itu. Seperti apa doa Nabi itu? Dan bagaimana penafsirannya? Shalawat dulu. Shallu ‘alan-Nabiy!
Dalam riwayat Muslim dari sahabat Umar ibn Khathab, doa Nabi tersebut demikian:
اللهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ
“Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika Kaubinasakan kelompok Islam ini, Engkau takkan lagi disembah di bumi.”
Dalam kitab tipis al-Sirah al-Nabawiyyah; Durus wa ‘Ibar, Dr. Musthafa al-Siba’i menjelaskan sekilas tentang situasi dan kondisi Perang Badar.
Perang Badar terjadi tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Pasukan musuh berjumlah 1000 prajurit, sementara pasukan muslim hanya berjumlah 313 atau 314 prajurit (319 menurut riwayat Muslim).
Singkat cerita, pada hari H, Rasulullah memeriksa pasukan. Memberikan orasi yang menyemangati mereka. Setelah itu, beliau masuk ke tendanya dengan ditemani Abu Bakar. Salah seorang sahabat berjaga-jaga dengan pedang yang terhunus. Dalam tenda itu, Rasulullah berdoa dengan posisi sujud. Lama sekali beliau bersujud.
“Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika Kaubinasakan kelompok Islam ini, Engkau takkan disembah di bumi.”
Iya. Lama sekali Rasulullah bersujud. Bayangkan saja, pasukan Rasulullah harus menghadapi pasukan lawan yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipat lebih banyak. Saking lamanya, serban beliau sampai jatuh. Abu Bakar mengambilnya dan menempatkannya kembali di bahu beliau. Abu Bakar kembali mundur. Abu Bakar barangkali berpikir Rasulullah terlalu lama bersujud. Ia sampai harus mengingatkan.
“Cukup, Rasulullah,” kata Abu Bakar. “Allah akan memenuhi janjimu.” Singkat cerita, pasukan Rasulullah menang. Kembali ke perkara doa Rasul di atas.
Bagaimana bisa Rasulullah memastikan bahwa Allah tidak akan lagi disembah jika pasukan muslim kalah, binasa?
Dalam kitab Kasyf al-Musykil min Hadits al-Shahihain, Ibnul Jauzi menyatakan bahwa tak layak kita menduga Nabi bermaksud seperti itu. Tak tepat menduga bahwa kekalahan pasukan muslim yang berjumlah 300 ratusan prajurit dapat menyebabkan tidak akan ada lagi orang yang menyembah Allah.
Sebab, orang Islam yang ikut Perang Badar hanya sekitar 300 dari seluruh umat muslim. Di Madinah masih banyak orang Islam yang tidak ikut berperang. Belum lagi umat Islam yang masih tinggal di Makkah. Perang Badar terjadi setelah lima belas tahun kenabian, setelah sosok Muhammad diutus menjadi Nabi dan mengajak orang memeluk Islam.
Artinya, saat itu sudah cukup banyak umat Islam. Tiga ratusan orang yang ikut perang itu hanya sebagian dari populasi umat Islam. Andai tiga ratusan orang itu seluruhnya binasa, tetap masih ada umat Islam yang menyembah Allah.
Jadi, secara redaksional, doa di atas tidak masuk akal. Ibnul Jauzi menduga, redaksi doa dalam hadis riwayat Umar di atas adalah riwayat bil ma’na yang salah redaksi. Hadis terkait doa Nabi di atas memang beragam. Dan Ibnul Jauzi lebih memilih redaksi doa (riwayat Anas ibn Malik) ini untuk layak dijelaskan:
اللهم إنك إِن تشأ لَا تعبد فِي الأَرْض.
“Ya Allah, jika Engkau berkehendak, Engkau tidak akan disembah di bumi.”
Jadi, perbedaan antara hadis riwayat Anas ini dan riwayat Umar di atas ada di kata in tasya’ yang bermakna “jika Engkau berkehendak”.
Maka, doa di atas menjadi begini: “Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika Kaubinasakan kelompok Islam ini, dan jika Engkau berkehendak, Engkau takkan disembah di bumi.”
Agaknya, Ibnul Jauzi begitu berhati-hati terkait unsur makna teologis dalam doa Nabi tersebut. Ada perbedaan signifikan dalam sudut pandang akidah antara doa dalam riwayat Umar dan doa riwayat Anas.
Dalam riwayat Umar, pemahaman yang dapat muncul adalah bahwa tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan jika tiga ratusan pasukan muslim itu kalah.
Sementara, dalam riwayat Anas, pemahamannya adalah tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan jika Tuhan sendiri yang menghendaki [untuk tidak disembah].
Nah, Ibnul Jauzi memilih yang kedua. Memilih riwayat Anas ibn Malik. Memilih makna ini: “Ya Allah, jika Kaubinasakan kelompok Islam ini, dan jika Engkau berkehendak, Engkau takkan disembah di bumi”. Pemahaman ini lebih dapat diterima dari sisi teologis.
Maka, dari pemahaman itu dapat ditarik dua makna dalam doa Nabi di atas. Pertama, Tuhan tidak butuh disembah; manusialah yang butuh menyembah Tuhan. Kedua, jika tiga ratusan pasukan muslim kalah dan binasa, Nabi khawatir orang-orang baik akan berkurang dan lebih banyak orang-orang jahat.
Demikian.
Itu kira-kira yang saya pahami dari pemahaman Ibnul Jauzi dalam memahami hadis terkait “doa-Nabi yang mengancam” di atas. Wallahu a’lam bishawab.
Nah, setelah mengetahui betapa hati-hati Ibnul Jauzi memahami doa Nabi tersebut dan berupaya memberikan penafsiran yang lebih masuk akal dan dapat diterima dari sisi akidah (dan tentu saja setelah memahami konteks doa Nabi itu), saya merasa puisi Neno dalam Munajat 212 itu begitu sembrono; merasa munajat Ibu Warisman tersebut terdengar sangat tidak sopan kepada Tuhan. Tidak masuk akal dan terlalu banal dari sisi akidah Islam.
“Menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir, ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu, ya Allah.”
Puisi itu, alih-alih mengingatkan pada sirah Nabi, malah lebih mengingatkan saya pada cerita Iblis dan Nabi Isa yang dicatat oleh Ibnul Jauzi dalam Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin.
Konon, Iblis mendatangi Nabi Isa.
“Kau bilang semua yang terjadi padamu sudah ditentukan Tuhan,” kata Iblis.
“Memang,” kata Nabi Isa.
“Kalau begitu, coba kau lompat dari tebing ini. Jika memang sudah ditakdirkan selamat, kau bakal selamat.”
“Heh, laknat! Mestinya Tuhan yang menguji hamba, bukan malah hamba yang menguji Tuhan.”
Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment