Politisasi media
sosial memasuki tahun politik 2019 cenderung meningkat. Aktivitas warga
Internet membagikan, mengomentari berita, politik, ekonomi, religi bahkan
peristiwa olahraga sekalipun dapat dibaca sebagai pengkubuan
politik. Bagi warganet Indonesia, ada dua kubu–yang tidak enak
didengar penyebutannya, yaitu cebong
dan kampret. Cebong berasal dari kata kecebong (bayinya katak)
sebutan peyoratif untuk pendukung pemerintah dan kampret (bahasa lain dari
kelelawar) ejekan untuk kubu oposisi. Dua kubu ini saling mengawasi dan
menghukum kesalahan-kesalahan yang dilakukan anggota kubu lain di arena media
sosial, dimana tidak jarang menjurus pada penyebaran ujaran
kebencian.
Kasus yang baru
saja terjadi di wilayah NTB, yakni seorang remaja asal Mataram ditangkap aparat
kepolisian karena menyebarkan ujaran kebencian terhadap salah satu calon
presiden. Melalui akun Facebook bernama Imran Kumis, pelaku mengunggah konten
yang berisi ujaran kebencian pada hari Jumat (18/1), atau sehari setelah
tayangan debat perdana capres dan cawapres (Antara NTB). Dalam unggahannya
menyinggung Capres RI Joko Widodo dengan mengaitkan isu agama. Unggahan
tersangka pun mendapat sejumlah tanggapan negatif di kolom komentar. Ironisnya
tersangka justru memberikan komentar yang terkesan menantang orang lain bahwa
dirinya benar. Akibat perbuatannya, tersangka dijerat dengan sangkaan Pasal 28
Ayat 2 juncto Pasal 45A Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika
(ITE). Dalam aturan tersebut, tersangka terancam pidana paling lama 6 tahun dan
denda paling banyak Rp1 miliar.
Jeratan Hukum
Pembuat & Penyebar Ujaran Kebencian
Masyarakat harus
berhati-hati dalam penggunaan bahasa agar tak terkena jerat pasal-pasal ujaran kebencian.
Konsekuensi terkena pasal tersebut bisa berakibat pidana penjara. Di Indonesia,
prangkat hukum guna menjerat pelaku ujaran kebencian terdapat di pasal 28 ayat
2 Undang-Undang No 11/2018 tentang informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 4
dan 16 UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis setta
pasal 156 KUHP, pasal 157 KUHP, pasal 310 dan 311 KUHP. Aturan tersebut terkait
dengan perilaku menyerang kehormatan atau nama baik (pencemaran) serta
menimbulkan permusuhan, kebencian individu dan atau kelompok masyarakat
tertentu (SARA).
Polisi juga tak
tinggal diam dengan merebaknya kasus-kasus ujaran kebencian. Frans mengatakan,
Korps Bhayangkara telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/X/06/2015.
Dalam surat itu, Polri menyebut ujaran kebencian adalah penghinaan, pencemaran
nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan
menyebarkan berita bohong. Pelaku ujaran kebencian terancam pidana 6 hingga 4
tahun penjara serta denda maksimal Rp 1 miliar bila terbukti melakukan
perbuatannya.
Bukan hanya yang
pembuat awal status ujaran kebencian saja yang dianggap melanggar hukum, namun
kita pun juga bisa terjerat jika kita melakukan hal : (1) Menghubungkan berita
yang mengandung konten ujaran kebencian dengan praduga yang kita buat sendiri.
Apalagi tanpa didukung oleh data dan fakta yang jelas. Bisa-bisa kamu memicu
reaksi orang lain yang merasa tersinggung dengan tindakan kamu. Ujung-ujungnya
jadi timbul konflik kan; (2) Ikut share/berbagi capture atau status di sosial
media milik seseorang karena kamu dapat dituduh terlibat dalam melakukan hate
speech. (3) Membuat meme. Selain dapat dituduh kamu terlibat sebagai pelaku
hate speech di media sosial tapi juga masuk dalam pelaku cyberbullying; (4)
Spamming.
Free Speech vs
Hate Speech
Munculnya ujaran
kebencian ini sejatinya merupakan resiko dari kebebasan berpendapat di era
demokrasi saat ini. Tiap orang punya keinginan untuk mengutarakan pendapat
mereka, baik itu berkaitan dengan isu politik, ekonomi, sosial, keamanan hingga
permasalahan pribadi seseorang public
figure. Hal ini yang harus dibedakan, mana yang free speech dan mana yang hate
speech atau ujaran kebencian.
Secara definisi, free speech adalah kebebasan untuk
mengemukakan ide dan pendapat tanpa pembalasan, penyensoran, dan/atau sanksi.
Hak free speech adalah hak yang
penting untuk dimiliki oleh semua orang dan bertujuan baik. Masalahnya adalah
batasan antara apa yang menjadi free
speech dan apa yang menjadi hate
speech dimanipulasi hingga menjadi buram. Free speech dijadikan alasan untuk aksi-aksi tidak sensitif, egois,
dan penuh kebencian yang kita kenal sebagai hate
speech. Orang-orang tersebut membenarkan tindakan-tindakan yang tidak dapat
ditoleransi ini dengan, "Saya punya kebebasan untuk berpendapat."
Memang nyatanya,
garis di antara free speech dan hate speech amat tipis. Lalu, jika
demikian, apa yang membedakan keduanya? Free
Speech menjadi hate speech
apabila: (1) Bertentangan dengan hak-hak atau kebebasan orang lain, seperti
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,
provokasi, penghasutan,penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas
memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial; (2) Ujaran ini ditujukan kepada
individu atau kelompok lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit,
etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Namun, itu tidak
berarti kita tidak bisa membicarakan hal-hal yang sensitif di sosial media.
Justru bagus jika topik-topik seperti itu dibicarakan di sosial media dimana
bisa terdengar di telinga orang banyak. Hanya saja, yang perlu diingat adalah
bahwa ada cara yang tepat untuk melakukannya. Contohnya ketika ada seseorang
warganet sedang membahas penegakan hukum di Indonesia yang kurang tegas di
laman akun sosial media pribadinya tetapi tidak
dengan kata-kata kasar maka pembahasan itu tidak berubah menjadi hate speech. Terlebih warganet tersebut
menggunakan kata-kata yang baik dan sopan sehingga /tidak menyinggung siapapun
yang membacanya. Kemudian juga memberikan perbandingan penegakan hukum dengan
negara lain yang tidak bertujuan untuk menghasut kekerasan atau kebencian,
malah dengan tujuan untuk membangun.
Dengan contoh
diatas, hendaklah kita semua sadar akan tanggung jawab kita atas hak kebebasan
berpendapat ini. Hendaklah pula sadar akan dunia sosial media dewasa ini dimana
suara seseorang bisa didengar semuanya dalam sekejap mata. Kita harus
berhati-hati menggunakan hak ini karena meskipun free speech dapat berhasil baik, sekali salah langkah maka sesuatu
yang konstruktif akan menjadi destruktif. Konsep ini juga berlaku pada
kontestasi Pemilu 2019, dimana segala bentuk politisasi identitas yang
menggunakan ujaran kebencian yang berujung upaya diskriminasi SARA atau
menyerang lawan politik, itu sesuatu yang tidak sehat untuk kehidupan
demokrasi.
Ujaran Kebencian Picu Konflik Pemilu
Bawaslu RI pada saat merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 menyebut
bahwa ujaran kebencian selalu menjadi kerawanan laten yang memicu konflik dalam
setiap event pemilu. Berdasarkan IKP 2019, sebanyak 90 daerah atau 17,5 persen
dari kabupaten atau kota seluruh Indonesia masuk dalam kategori rawan tinggi
isu ujaran kebencian di Pemilu 2019. Melalui data IKP 2019 tersebut, penyebaran
ujaran kebencian pada pelaksanaan Pemilu 2019 perlu diwaspadai bersama karena
dapat memicu konflik yang lebih besar. Bahkan, Direktur Imparsial Al Araf
menyebut bahwa penyebaran ujaran kebencian demi kemenangan politik akan
berbahaya bagi situasi keamanan di Indonesia.
Sejarah dunia mencatat sejarah yang kelam akibat pengaruh ujaran
kebencian yang tak terkendali. Dalam realitas sejarah, konflik ujaran kebencian
jadi lahan subur memaksimalkan konflik sosial yang mengakibatkan pembantaian
massal seperti di Rwanda dan Serbia (Yugoslavia). Berkaca dari dua negara
tersebut, ada pergeseran model konflik di berbagai negara. Jika dulu konflik
keamanan melibatkan antar-negara, kini konflik keamanan di dalam suatu negara
menjadi lebih mengkhawatirkan. Situasi itu menjadi ancaman serius bagi seluruh
negara saat ini. Sayangnya pola ini menguat di kawasan Afrika dan Asia. Itu
terbukti dengan realitas konflik seperti Suriah, Irak, Mesir, dan negara Timur
Tengah lainnya yang mengalami persoalan serius dalam konflik internal. Konflik
internal yang melibatkan ujaran kebencian dan hoaks dengan unsur suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA) bisa melemahkan dan menggagalkan suatu negara. Bahkan,
dinamika konflik tersebut bisa semakin kuat di satu wilayah yang kesenjangan
sosial dan ekonominya tinggi.
Dengan demikian, ujaran kebencian dan HOAX dalam konteks politik menjadi
hal penting yang perlu diperhatikan oleh Indonesia. Negara tidak boleh
meremehkan keberadaan ujaran kebencian dan hoaks yang beredar di kalangan
masyarakat. Sehingga, perlu adanya penanganan bersama dalam melawan narasi
kebencian dengan narasi yang menyejukkan dengan tema-tema perdamaian dan
keberagaman. Alih-alih melakukan ujaran
kebencian dan bernuansa SARA, para pendukung, simpatisan, dan timses paslon
Pilpres 2019 sebaiknya mengedepankan gagasan dan program politik yang bisa membuat
perubahan di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat lebih obyektif memilih
pemimpin yamg benar-benar dibutuhkan untuk membangun Negara ini, bukan dengan
menjatuhkan lawan politik. (SA)
No comments:
Post a Comment