Akhir
bulan Juli hingga Agustus 2018 merupakan
salah satu periode kehidupan yang tidak akan terlupakan oleh masyarakat NTB
khususnya warga di Pulau Lombok dan sebagian di Pulau Sumbawa. Peristiwa gempa
bumi yang tidak hanya berlangsung sekali namun hingga ratusan kali dengan gempa
utama yang tercatat berkekuatan 7.0 SR telah meluluh lantakkan bangunan dan
rumah warga. Berdasarkan penjelasan Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) Badan Geologi, gempa yang terjadi di NTB merupakan sebuah fenomena
bencana yang terjadi karena sumber gempa bumi berasosiasi dengan zona
pensesaran naik (Flores back- arc Thrust) yang berarah relatif
barat-timur. Kemudian pusat gempa bumi juga berada di darat yang sebagian besar
daerah tersebut tersusun oleh batuan sedimen dan batuan metamorf berumur
Pra-Tersier hingga Tersier (batuan gunung api berumur Tersier hingga Kuarter,
dan aluvium berumur Resen). Pada daerah yang tersusun oleh batuan yang telah
tersesarkan dan terlapukkan serta daerah aluvium, sangat rentan terhadap
guncangan gempa bumi karena bersifat urai, lepas, dan belum terkonsolidasi,
sehingga memperkuat efek getaran gempa. Selain berdampak pada rusaknya bangunan
dan rumah warga, sebagian masyarakat terpaksa harus mengungsi. Jika mengacu
pada pemberitaan CNNIndonesia, jumlah warga yang mengungsi lima hari pasca gempa
berkekuatan 7.0 Skala Richter di Lombok Nusa Tenggara Barat, mencapai 270.168
jiwa. Sementara itu, berdasarkan data BPBD NTB, jumlah rumah yang mengalami
kerusakan akibat gempa mencapai 216.519
unit dengan
rincian rumah rusak berat 75.138, rusak sedang
33.075 dan rusak ringan 108.306.
Upaya Pemulihan
Dalam
rangka memulihkan NTB pasca gempa bumi, pemerintah tidak henti-hentinya terus
melakukan upaya pemulihan. Bahkan Presiden RI Joko Widodo secara khusus pada 23
Agustus 2018 telah mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpers) Nomor 5 Tahun 2018
tentang Percepatan Rehabilitasi dan rekonstruksi Pasca Bencana Gempa Bumi di
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram
dan wilayah terdampak di Provinsi NTB, dalam rangka percepatan rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana gempa bumi di Pulau Lombok dan Sumbawa. Inpres ini
tidak hanya berfokus pada pemulihan fisik namun juga pemulihan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat di kabupaten/kota yang terdampak bencana. Tidak tanggung
tanggung melalu Inpres tersebut, Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada
19 menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BNPB
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Kepala BPKP (Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan), Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah) , Gubernur NTB dan kepala daerah terdampak bencana gempa,
untuk melakukan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan melalui (1) Perbaikan
lingkungan bencana; (2) Perbaikan prasarana dan sarana umum; (3) Pemberian
bantuan perbaikan rumah masyarakat; (4) Pemulihan sosial psikologis; (5)
Pelayanan kesehatan; (6) Pemulihan sosial, ekonomi dan budaya; (7) Pemulihan
keamanan dan ketertiban; (8) Pemulihan fungsi pemerintahan dan (9) Pemulihan
fungsi pelayanan publik.
Sedangkan
rekonstruksi terdiri atas : (1) Pembangunan kembali prasaranan dan sarana; (2)
Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; (3) Pembangkitan kembali
kehidupan sosial budaya masyarakat; (4) Penerapan rancang bangun yang tepat dan
penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; (5) Partisipasi dan
peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;
(6) Peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya; (7) Peningkatan fungsi
pelayanan publik dan (8) Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. Tidak
hanya itu, beberapa kali Presiden Joko Widodo juga turun langsung ke lokasi
terdampak gempa untuk memantau proses pemulihan dan menyampaikan kebijakan
pemberian bantuan rehabilitasi bagi warga terdampak gempa dengan besaran Rp
50.000.000 untuk rumah rusak berat, Rp 25.000.000 untuk rusak sedang dan Rp
10.000.000 untuk rusak ringan.
Kondisi saat ini
Jika
mengacu sejak Inpres tersebut dikeluarkan, proses pemulihan pasca gempa telah
berjalan selama kurang lebih lima bulan. Namun demikian prosesnya memang masih
belum optimal akan tetapi perhatian pemerintah terus diberikan dan upaya
percepatan terus dilakukan. Hal ini terlihat dari kemajuan proses pembangunan
rumah tahan gempa bagi korban rusak berat, berdasarkan keterangan Kepala
Pelaksana BPBD NTB, Ir. Mohammad Rum, MT (SuaraNTB.com/21 Januari 2019)
menyebutkan bahwa sudah 220 unit huntap (Hunian Tetap) terbangun dan siap huni.
Sementara huntap yang sedang dalam
proses pembangunan sebanyak 3.925 unit. Dengan rincian Risha 1.891 unit, Rika
715 unit, Riko 1.222 unit, lainnya 40 unit dan pembangunan secara individu 57
unit.
Jumlah
Huntap yang telah dibangun tersebut, apabila dibandingkan dengan jumlah rumah
masyarakat yang rusak akibat gempa memang masih terjadi disparitas yang cukup
jauh. Hal ini disebabkan oleh sejumlah kendala sebagaimana yang disampikan oleh
Kepala Dinas Perumahan dan pemukiman (Perkim) provinsi NTB, IGB, Sugiharta
dalam artikel berita gatra.com pada 12 Januari 2019 yang mengatakan bahwa
kendala arah percepatan rekonstruksi rumah pasca gempa terus terjadi yang
disebabkan karena pencairan dana yang tersumbat, fasilitator pembangunan
perumahan, aplikator, bahan material yang dibutuhkan termasuk ketersediaan
tenaga tukang yang masih terbatas. Oleh karena itu akan sangat wajar apabila
sebagian masyarakat NTB terutama di wilayah terdampak gempa yang cukup parah
seperti Kab Lombok Utara, Kab Lombok Barat, Kab Lombok Tengah meminta pemerintah
untuk segera melakukan percepatan proses pemulihan. Apalagi sampai saat ini
masih banyak korban terdampak gempa yang tinggal di Hunian Sementara (Huntara)
dan berharap agar pemerintah bisa segera melakukan percepatan pemulihan
rumah-rumah korban terdampak gempa.
Jalan Tengah
Dalam
konteks percepatan penanganan pasca gempa, keinginan masyarakat agar proses
pemulihan bisa segera diselesaikan memang tidak bisa disalahkan. Begitu juga
dengan upaya pemerintah untuk melakukan percepatan juga perlu kita apresiasi.
Perlu dipahami bahwa dalam melaksanakan pemulihan pasca gempa pemerintah
dibatasi oleh regulasi yang mengharuskan seluruh dana bantuan tersebut tercatat
dan diterima langsung oleh warga korban terdampak gempa. Oleh karena itu proses
pencairannya tidak semudah yang dibayangkan oleh masyarakat. Prosedur yang
harus dilewati berlapis-lapis sehingga terkesan bertele-tele dan panjang. Akan
tetapi keseluruhan prosedur tersebut pada dasarnya untuk kepentingan masyarakat
juga agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian bantuan sehingga pihak
pemerintah dalam hal ini BPBD, pemerintah daerah bersama aparaturnya terhindar
dari penyelewengan dana yang bisa dikenakan tindak pidana.
No comments:
Post a Comment