Mataram – Pengamat Politik UIN
(Universitas Islam Negeri) Mataram, DR Kadri menilai reuni 212 di Jakarta saat
ini sudah tidak efektif karena banyaknya tesis-tesis yang bisa dibantah dari
gerakan ini. Oleh karena itu, publik harus cerdas untuk memahami
gerakan-gerakan yang memiliki irisan politik.
Jika dilihat dari awal pergerakan
212, ketika Ma’ruf Amin belum di
dideklarasikan sebagai calon presiden, justru mereka menumpang dengan kharismatik
Ma’ruf Amin sebagia Ketua MUI Pusat. Tapi ketika Ma’ruf Amin dideklarasikan
sebagia Cawapres Joko Widodo, mereka merekonstruksi lagi pernyataan dan
reasoning yang mereka bangun untuk tidak mendukung Jokowi.
“Artinya mereka sesungguhnya
mempunyai agenda meskipun tidak semuanya tapi dedengkotnya sudah mempunyai
agenda sendiri tentang konstestasi politik ini paling tidak mereka linkage
dengan kelompok yang berseberangan dengan Jokowi”, katanya ketika dihubungi
wartawan (01/12/2018).
Oleh karena itu secara politik,
ketika kontestasi politik ini sudah berjalan dan hampir memasuki tahun
pemilihan. Mereka terus ingin menjaga momentum, menjaga kekompakan secara
emosional dan juga ingin membangkitkan memori publik tentang Pilkada DKI yang
kemudian di coba untuk di transformasikan gayanya ke pilpres.
“Jadi simpul-simpul identitas dan
kecaman emosional mulai dibangkitkan kembali dengan harapan suara umat yang
katanya terjadi pada saat Pilkada DKI bisa di transformasikan ke pemilu 2019”
jelasnya.
Tapi menurutnya, memang
makin hari gerakan ini tidak terlalu
efektif seiring dengan banyaknya tesis-tesis yang bisa dibantah dari gerakan
ini. Jadi publik harus cerdas memahami gerakan in tidak lagi membaca gerakan ini sebagai sebuah
gerakan yang murni namun sebuah gerakan yang memiliki irisan politik.
“Masyarakat harus dikasih
pencerahan sehingga politik ini akan berjalan lebih dewasa tanpa
sentimen-sentimen yang sektarian seperti itu. Kan sekarang tidak ada persoalan
kalau dulu mungkin pintu masuknya tentang penistaan agama sekarang apa, malah
ulama yang bertarung kok di jelek-jelekan lalu mau mengkonsolidasikan apa”,
tambahnya.
Tapi, kata dia, sebagai warga
Negara untuk memiliki hak berkumpul dan berserikat harus dihargai cuman jangan
sampai pertemuan atau perkumpulan itu beririsan politik apalagi sampai
membangun narasi kebencian yang makin memperparah kontestasi.
DR Kadri, juga sepakat dengan
pernyataan TGB yang menyebutkan bahwa dtidak ada perang dalam kontes politik
ini, karena semua sama-sama muslim, sama-sama Indonesia, kedua pasangan calon
tersebut juga orang baik.
“Kok malah kita yang
memanas-manasi dan mengkotak-kotakan”, ungkapnya.
Makanya kita harus mengapresiasi
pikiran dan kebijakan Ketum PP Muhamadiyah yang memberikan kebebasan dan
keleluasaan bagi kader dan jamaahnya untuk menentukan pilihan ini.
“Jadi asik kan, Ketum PP
Muhamadiyah tidak mendeklarasikan diri mendukung salah satu pasangan calon.
Saya kira itu pesan dan contoh yang bagus di ruang publik. Tidak ada upaya
menggiring ormas tertentu untuk mendukung salah satu calon. Terlepas mereka
bergrilya dibelakang itu urusan lain”, jelasnya.
Terakhir, menurut Dosen
Komunikasi Politik UIN Mataram ini, kalau reuni 212 diarahkan ke hal politik
sama saja dengan melakukan deklarasi dukungan yang sudah diarahkan ke ranah
politik. **
No comments:
Post a Comment