Akademisi yang juga pemerhati intelijen Robi Sugara menyatakan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memakai tameng agama untuk mempertahankan eksistensinya dari keputusan pemerintah membubarkan organisasi pengusung sistem khilafah itu. Menurutnya, HTI sengaja memanfaatkan gerakan #2019GantiPresiden yang digelorakan kader-kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk terus mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi khilafah.
“Kelompok ini (HTI, red) memanfaatkan kata khilafah sebagai tameng gerakannya. Taktik yang sering digunakan kelompok esktremisme adalah religious shield (tameng agama, red), di mana ketika ada pihak kontra terhadap gagasannya menegakkan khilafah langsung disebut sebagai anti-Islam,” ujar Robi melalui layanan pesan WhatsApp, Jumat (7/9).
Direktur Indonesian Muslim Crisis Center itu menambahkan, HTI sebagai gerakan transnasional sebenarnya sudah dilarang di banyak negara Islam. Pemerintah Indonesia juga sudah memutuskan membubarkan HTI karena dianggap berpotensi memunculkan konflik horizontal sesama anak bangsa Indonesia yang beragama suku, bahasa, agama dan budaya.
Namun, HTI yang sudah menjadi organisasi terlarang langsung menggulirkan narasi yang menstigmakan Pemerintah Indonesia anti-Islam. Padahal, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang jauh lebih tua ketimbang HTI masih tetap eksis di Indonesia.
“Kelompok Islam lainnya hidup damai di Indonesia seperti NU, Muhamadiyah, Persis, Al-Khairat dan lain sebagainya,” tegasnya.
Robi menambahkan, HTI merupakan kelompok yang berasal dari ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Menurutnya, ideologi itu pula yang memunculkan PKS yang kini getol menyuarakan tagar #2019GantiPresiden.
Bedanya, kata Robi, HTI menolak Pancasila dan antidemokrasi sehingga mengharamkan pemilu. Sedangkan PKS mau masuk dulu dalam sistem demokrasi.
“Ikut serta dalam pemilihan umum dengan mencoblos calon legislatif atau presiden tidak pernah dilakukan oleh kader HTI. Bukan golput karena sikap politik, tapi karena menganggap pemilu itu haram,” katanya.
Oleh karena itu Robi meyakini gerakan #2019GantiPresiden yang sudah disusupi kepentingan HTI bukan sekadar upaya untuk melengserkan Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Menurut Robi, HTI menginginkan ada kekacauan.
“HTI hanya memanfaatkan gerakan ini untuk tujuan kekacauan di negeri ini. Strategi HTI memanfaatkan kekacauan ini mirip dengan yang dilakukan oleh ISIS di Suriah,” tegasnya.
Bahkan, Robi menyebut Hizbut Tahrir terlibat dalam konflik bersenjata di Suriah. Ada ktivis Hizbut Tahrir yang bergabung dalam kelompok bersenjata Ahrar Syam dan Jabhah An-Nusrah untuk melawan rezim Assad dan ISIS.
“Tapi di antara mereka juga kemudian bergabung dengan ISIS. Ada beberapa videonya di YouTube,” kata dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu.
Oleh karena itu karena kesamaan kepentingan maka PKS dan HTI berkolaborasi. “Mereka saling memanfaatkan sebagaimana dalam video pendek antara kader HTI Ismail Yusanto dan kader PKS Mardani Ali Sera mengatakan dengan kompak ganti presiden dan ganti sistem,” ulasnya
Sumber
“Kelompok ini (HTI, red) memanfaatkan kata khilafah sebagai tameng gerakannya. Taktik yang sering digunakan kelompok esktremisme adalah religious shield (tameng agama, red), di mana ketika ada pihak kontra terhadap gagasannya menegakkan khilafah langsung disebut sebagai anti-Islam,” ujar Robi melalui layanan pesan WhatsApp, Jumat (7/9).
Direktur Indonesian Muslim Crisis Center itu menambahkan, HTI sebagai gerakan transnasional sebenarnya sudah dilarang di banyak negara Islam. Pemerintah Indonesia juga sudah memutuskan membubarkan HTI karena dianggap berpotensi memunculkan konflik horizontal sesama anak bangsa Indonesia yang beragama suku, bahasa, agama dan budaya.
Namun, HTI yang sudah menjadi organisasi terlarang langsung menggulirkan narasi yang menstigmakan Pemerintah Indonesia anti-Islam. Padahal, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang jauh lebih tua ketimbang HTI masih tetap eksis di Indonesia.
“Kelompok Islam lainnya hidup damai di Indonesia seperti NU, Muhamadiyah, Persis, Al-Khairat dan lain sebagainya,” tegasnya.
Robi menambahkan, HTI merupakan kelompok yang berasal dari ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Menurutnya, ideologi itu pula yang memunculkan PKS yang kini getol menyuarakan tagar #2019GantiPresiden.
Bedanya, kata Robi, HTI menolak Pancasila dan antidemokrasi sehingga mengharamkan pemilu. Sedangkan PKS mau masuk dulu dalam sistem demokrasi.
“Ikut serta dalam pemilihan umum dengan mencoblos calon legislatif atau presiden tidak pernah dilakukan oleh kader HTI. Bukan golput karena sikap politik, tapi karena menganggap pemilu itu haram,” katanya.
Oleh karena itu Robi meyakini gerakan #2019GantiPresiden yang sudah disusupi kepentingan HTI bukan sekadar upaya untuk melengserkan Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Menurut Robi, HTI menginginkan ada kekacauan.
“HTI hanya memanfaatkan gerakan ini untuk tujuan kekacauan di negeri ini. Strategi HTI memanfaatkan kekacauan ini mirip dengan yang dilakukan oleh ISIS di Suriah,” tegasnya.
Bahkan, Robi menyebut Hizbut Tahrir terlibat dalam konflik bersenjata di Suriah. Ada ktivis Hizbut Tahrir yang bergabung dalam kelompok bersenjata Ahrar Syam dan Jabhah An-Nusrah untuk melawan rezim Assad dan ISIS.
“Tapi di antara mereka juga kemudian bergabung dengan ISIS. Ada beberapa videonya di YouTube,” kata dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu.
Oleh karena itu karena kesamaan kepentingan maka PKS dan HTI berkolaborasi. “Mereka saling memanfaatkan sebagaimana dalam video pendek antara kader HTI Ismail Yusanto dan kader PKS Mardani Ali Sera mengatakan dengan kompak ganti presiden dan ganti sistem,” ulasnya
Sumber
No comments:
Post a Comment