SAAT kebanyakan pelaku usaha kelimpungan melihat rupiah yang
limbung, Theodore Permadi Rachmat, 74 tahun, adem-ayem saja. Pengalamannya
berbisnis selama lima puluh tahun membuatnya yakin bahwa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dari kondisi ekonomi Indonesia sekarang. “Di masa Presiden
Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil,” ujar
pendiri Triputra Group itu.
Theodore telah melewati masa-masa ekonomi sulit, dari
1997-1998, 2005, 2008, hingga terakhir tahun ini. Ia meminta kondisi ekonomi
tidak dilihat dari penurunan nilai tukar semata. Rupiah yang melemah, kata dia,
hanya berdampak hebat terhadap importir. Selama konsumen tidak menggunakan
barang impor, tidak ada pengaruhnya. “Inflasi tinggi lebih mengerikan karena
membuat masyarakat bawah tidak sanggup membeli barang kebutuhan pokok,” ujarnya
kepada wartawan Tempo Reza Maulana dan Andi Ibnu dalam wawancara khusus di
kantor PT Kirana Megatara—anak usaha Triputra yang bergerak di bidang
perdagangan karet—di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu petang pekan lalu.
Ia menilai situasi perekonomian Indonesia saat ini berbeda
dengan masa krisis ekonomi 1998. Kala itu, perbankan terkena krisis dan inflasi
melambung hingga 77 persen. Saat ini, inflasi Indonesia 3,2 persen. Pada 1998,
selain ekonomi, politik mengalami krisis.
Lulus dari Institut Teknologi Bandung pada 1968, Theodore
ikut pamannya, William Soeryadjaya, yang saat itu sedang membangun
Astra—perusahaan multinasional yang kini mempekerjakan lebih dari 200 ribu
karyawan di 200-an anak perusahaan. Sarjana teknik mesin itu mendapat nomor karyawan
16 dengan tugas menjual alat-alat berat. Teddy—panggilan Theodore—mengakhiri
kariernya di Astra pada 1998, setelah 14 tahun menjadi presiden direktur.
Ketimbang bermain golf pada masa pensiun, Theodore memilih
mendirikan PT Triputra Investindo Arya, yang menjadi perusahaan induk Adira
Mobil dan Adira Finance. Penjualan Adira Finance ke Bank Danamon Tbk pada 2004
membuat perusahaan itu merambah ke berbagai sektor. Triputra Group kini
bergerak di bidang perkebunan, manufaktur, pertambangan, dan perdagangan.
Pendirinya pun menjadi orang nomor 19 terkaya di Indonesia versi majalah
Forbes.
Sebagai pengusaha, bagaimana Anda membandingkan situasi
sekarang dengan krisis ekonomi 1997-1998?
Bedalah. Waktu itu, perbankan rusak. Inflasi tinggi (sempat
menyentuh 77 persen). Sekarang inflasi kita 3,2 persen. Sebelum tiga tahun
terakhir, inflasi kita tidak pernah di bawah 5 persen. Itu yang penting.
Inflasi jangan naik. Lagi pula, kenapa harus naik? Beras dibikin di Indonesia,
cabai dibikin di Indonesia. Tidak impor. So, why worry?
Anda memimpin Astra saat krisis ekonomi pecah. Apa masalah
terbesar yang Anda hadapi?
Market hancur. Orang enggak ada yang beli mobil dan sepeda
motor. Harga naik karena komponen impor dan dibayar pakai dolar. Sekarang beda.
Baru saja kami ngomong dengan para dealer sepeda motor, harga jual mereka
enggak naik. Waktu 1998, yang krisis bukan hanya ekonomi, tapi juga politik.
Saat itu orang menganggap Pak Harto overstayed. Dia berkuasa sejak 1966 sampai
1998, sudah 32 tahun. Kelamaan.
Mungkinkah pemilihan presiden dan Pemilihan Umum 2019
memperlemah rupiah?
Menurut saya, tidak, karena aturan main di politik lebih
ketat. Jauh benar dengan situasi 1998.
Apa pandangan Anda terhadap upaya pemerintah menahan
pelemahan rupiah?
All in all, it’s okay. Pemerintah memotong biosolar 20
persen, impor dikurangi, penjadwalan ulang proyek-proyek besar. Sudah benar
semua. Saya punya rasa hormat yang tinggi sekali kepada Menteri Keuangan Sri
Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia. Di bawah Pak Agus Martowardojo dan Perry
Warjiyo, Bank Indonesia sudah melakukan langkah-langkah yang tepat. Sekarang,
setiap kali beli dolar mesti ada underlying transaction. Jadi terkontrol. Yang
penting, jangan panik. Tahun depan pemerintah menargetkan defisit fiskal kita
kurang dari 2 persen. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya, banyak
uang masuk dari pajak.
Ada yang bilang amnesti pajak tidak berpengaruh....
Jangan bilang tax amnesty is not working. Saya lihat,
mungkin 90 persen pengusaha ikut tax amnesty. Mereka yang tidak ikut sekarang
kepayahan. Mau beli mobil saja ketahuan. Hidup ketakutan terus. Enggak tahu mau
bagaimana. Jadi Indonesia should be okay. Walaupun banyak hal yang masih bisa
dilakukan pemerintah.
Apa saja yang bisa dilakukan?
Kenapa harga bahan bakar minyak tidak dinaikkan sesuai
dengan nilai keekonomian? Padahal defisit transaksi neraca berjalan paling
besar ada di impor bahan bakar minyak. Dengan menaikkan harga BBM, konsumsi akan
turun dan transaksi neraca berjalan juga turun. Seperti kata Muhammad Chatib
Basri (Menteri Keuangan 2013-2014), ini obat yang paling manjur.
Tapi tidak populis di tahun politik....
Ya, ini tahun politik. Pak Harto dulu jatuh setelah
menaikkan Premium dari Rp 700 menjadi Rp 1.200 per liter. Di masa Susilo
Bambang Yudhoyono, saya menjadi anggota Komite Ekonomi Nasional. Waktu itu,
beban subsidi BBM sampai Rp 300 triliun. Pemerintah selalu berhati-hati
menaikkan harga bensin. Takut ada demonstrasi dan sebagainya. Padahal itu
wasted semua. Sekarang juga begitu. Tujuh bulan lagi pemilihan presiden dan
pemilihan umum. Ini pilihan politik.
(Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan
harga Premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 pada 22 Juni 2013.)
Dari kacamata ekonomi, kenaikan harga BBM tak bisa ditawar?
Saya bukan orang politik. Tapi, dari pertimbangan ekonomi,
ya, naikkan saja.
Beberapa waktu lalu, Anda dipanggil Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Membicarakan apa?
Saya sampaikan, program biofuel B20 sudah bagus, mengganti
20 persen impor solar dengan konten lokal, yaitu minyak kelapa sawit. Kalau
jalannya sudah benar, kenapa tidak dipercepat? Misalnya ke B25 atau B30. Saya
juga sampaikan usul tambahan, yaitu kembali menerapkan biaya fiskal luar
negeri. Itu sama dengan ajakan menghabiskan uang di dalam negeri saja. Kenapa
mesti spend di luar negeri? Pariwisata di Indonesia kan banyak dan bagus.
Apakah pengusaha memandang pelemahan rupiah sekarang sudah
pada tahap mengkhawatirkan?
Saya enggak bisa bilang atas nama pengusaha, karena tiap
bisnis berbeda. Bisnis saya kebanyakan di ekspor. Jadi, saat rupiah melemah,
saya lebih senang, ha-ha-ha…. Yang komplain dolar naik kan orang-orang Jawa
saja. Orang-orang yang hidup dari perkebunan dan pertambangan di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi tertawa semua. Saya berusaha mulai akhir 1970. Di masa
Presiden Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil.
Perusahaan Anda untung banyak?
Buat saya, rupiah turun, ya, happy-happy saja, ha-ha-ha….
Misalnya bisnis kantor ini, PT Kirana Megatara, hampir 100 persen ekspor karet.
Tapi pengusaha impor rugi besar....
Pengusaha impor pasti marah-marah. Misalnya importir
Lamborghini, yang produknya kini dipajaki tinggi oleh Menteri Keuangan, pasti
kesal. Tapi buat apa mobil mewah seperti itu? Saya melihat orang pakai
Lamborghini di Indonesia, ngelus dada. Kijang saja cukup.
Anda sehari-hari pakai mobil apa?
Saya pakai Lexus yang usianya sudah tujuh tahun. Ada juga Toyota
Alphard. Saya pakai bergantian sesuai dengan tanggal ganjil-genap, he-he-he….
Setiap kali melihat Lamborghini, saya langsung terbayang harganya, Rp 5 miliar.
Berapa ton minyak sawit mentah yang harus saya ekspor untuk mengimbangi
transaksi berjalan dari masuknya mobil itu? Begitu juga kalau melihat orang
yang pakai handbag Hermes. Rasanya kok enggak pantas.
Untuk menahan pelemahan rupiah, apakah pengusaha ekspor mau
menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri?
Asalkan dikasih insentif. Misalnya mendapat bunga yang
sesuai. Aturannya belum keluar. Kami lihat dulu aturan mainnya seperti apa.
Tapi, saat ini, DHE saya sudah di bank nasional.
Peluang apa yang pengusaha bisa ambil dalam kondisi rupiah
yang lemah?
Kalau rupiah kuat, orang berpikir impor saja. Dengan rupiah
melemah, ekspor jadi lebih lancar dan konten lokal lebih besar. Jadi low
currency itu bisa melindungi industri lokal.
Muhammad Chatib Basri mengatakan rupiah bergerak menuju
titik kesetimbangan baru. Apakah industri bisa bertahan jika angkanya di atas
15 ribu?
Setiap hari pun angkanya baru. Mau 14 ribu atau 15 ribu,
buat saya enggak penting. Yang penting stabil, jangan inflasi besar. Inflasi
ini yang lebih ngeri dibanding devaluasi. Karena, dengan inflasi, kasihan
masyarakat bawah, enggak sanggup beli barang kebutuhan pokok.
Berapa kurs rupiah yang ideal?
Enggak ada angka ideal. Buat saya, mending Rp 16 ribu per
dolar Amerika Serikat. Tapi, buat importir, mending Rp 14 ribu. Siapa yang
benar? Mau Rp 14 ribu, mau Rp 15 ribu, mau Rp 16 ribu per dolar, enggak jadi
masalah. Yang penting jangan bergejolak, karena gejolak memberi ketidakpastian.
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar
Nasution, mengatakan fundamen ekonomi Indonesia lemah. Anda merasakannya?
Waktu saya mulai kerja di Astra, 50 tahun lalu, satu rupiah
hampir sama dengan satu yen. Waktu itu nilai dolar Amerika Serikat sekitar Rp
300. Sekarang yen menguat ke Rp 132 dan dolar Amerika hampir Rp 15 ribu.
Kenapa? Karena fundamen ekonomi Indonesia weak.
Apa sebabnya?
Indonesia tidak punya ekosistem industri yang kuat.
Indonesia tidak punya basis manufaktur seperti Jepang, Cina, Taiwan, Korea
Selatan, dan yang terbaru, Vietnam. Sebab, dibanding negara-negara tersebut,
investor menilai Indonesia paling tidak nyaman. Hingga dua tahun lalu,
sedikit-sedikit buruh berdemonstrasi, menutup jalan, dan sebagainya. Mana mau
investor masuk? Di Vietnam, buruh kerja 48 jam dalam sepekan. Di Indonesia, 40
jam. Di Karawang (sentra industri manufaktur di Jawa Barat), upah minimum Rp
4,2 juta per bulan. Lima tahun lalu cuma Rp 2 jutaan. Masak, naik 200 persen?
Siapa yang mau invest?
Bukankah upah minimum merupakan kesepakatan bersama?
Itu karena pemilihan kepala daerah. Biar terpilih, menjanjikan
sesuatu yang berat untuk dilaksanakan. Ibarat menembak ke kaki sendiri. Baru
ada kepastian setelah Presiden Joko Widodo menetapkan kenaikan gaji didapat
dari penghitungan pertumbuhan ekonomi plus inflasi.
*
Bagaimana rasanya jadi salah satu orang terkaya di
Indonesia?
Siapa yang diberi Tuhan berkah lebih banyak, tanggung
jawabnya lebih banyak. Sebagai pengusaha, kami diberi keberuntungan dapat hidup
lebih dari cukup. Maka selayaknya juga berpikir, bagaimana dengan yang lain?
Yang penting, setiap orang harus punya misi dalam hidupnya.
Apa misi Anda?
Saya ingin tidak ada lagi kemiskinan di Indonesia. Rumah
yang saya tinggali merupakan bagian dari rumah besar kita. Percuma rumah saya
sangat berada kalau rumah besarnya berantakan. Semua jadi tidak bisa langgeng.
Rumah besar itu Indonesia.
Caranya?
Lewat pendidikan. Pada 1999, saya mendirikan Yayasan
Pelayanan Kasih A&A Rachmat. Diambil dari nama orang tua saya, Adi Rachmat
dan Agustine. Hingga sekarang, telah tersalurkan 19.500 beasiswa jenjang D-3
dan S-1 bagi siswa kurang mampu di seluruh Indonesia. Kami juga membantu banyak
panti asuhan.
Pernah berpikir menjadi salah satu orang terkaya di
Indonesia?
Sewaktu mulai bekerja, 50 tahun lalu, saya tidak punya apa-apa.
Pak William Soeryadjaya—pendiri Astra—memberi tempat kerja di Jalan Juanda III
Nomor 11, Jakarta Pusat, di garasinya. Pagi buat ngantor, malam buat tidur.
Sebagai salesman, penjualan pertama saya adalah ekskavator ke Kementerian
Pekerjaan Umum. Waktu itu, tidak mikir apa-apa. Kerja keras saja cari duit.
Digaji Rp 30 ribu sebulan, dua minggu sudah habis. Istri saya jual koran bekas
buat menutup pengeluaran, he-he-he….
Forbes menyebutkan kekayaan Anda turun dari US$ 1,7 miliar
pada Maret lalu menjadi US$ 1,4 miliar bulan ini. Mengapa turun?
Wah, itu enggak pentinglah. Mau berapa juga enggak
habis-habis, ha-ha-ha.... Forbes bilang US$ 1,7 miliar, yang lain bilang lain
lagi. Mana yang benar juga kita enggak tahu.
Menurut hitungan Anda berapa?
(Menggeleng-gelengkan kepala) Not important, ha-ha-ha…. Yang
penting bukan berapa yang kamu punya, tapi berapa yang kamu kasih. Yang saya
rasakan, makin banyak saya memberi, makin banyak saya menerima.
*
BIODATA
Theodore Permadi Rachmat
Panggilan: Teddy
Tempat dan tanggal lahir: Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat,
15 Desember 1943
Pendidikan: SMA Katolik Santo Aloysius, Bandung; Sarjana
Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung, lulus 1968
Riwayat pekerjaan:
- PT Astra International Tbk (1968-1998); Mengelola United
Tractors, anak usaha Astra (1972-1984); Presiden Direktur Astra International
(1984-1998)
- Mendirikan PT Porta Nigra (1970)
- Mendirikan PT Tripel A Jaya (1979)
- Mendirikan Triputra Group (1998)
Komisaris, di antaranya: PT Surya Esa Perkasa Tbk, PT Adaro
Strategic Investments, PT Adaro Strategic Lestari, PT Viscaya Investments, PT
Biscayne Investments, dan PT Dianlia Setyamukti
Kegiatan sosial: Yayasan Pelayanan Kasih A&A Rachmat
(sejak 1999)
No comments:
Post a Comment