Jakarta – Nomura Holding Inc. mencatat data bahwa Indonesia berada dalam daftar delapan negara berkembang yang memiliki risiko paling kecil terpapar krisis moneter.
Nomura Holding Inc. adalah sebuah perusahaan investasi asal Jepang yang memiliki reputasi bertaraf internasional.
Nomura Holding Inc. merilis laporan tentang risiko krisis nilai tukar mata uang di sejumlah negara berkembang. Rilis ini dilansir karena mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia, saat ini sedang menghadapi tekanan.
Selain Indonesia, negara lain yang berisiko kecil terpapar krisis adalah Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.
Indonesia dinilai cukup risilien. Dengan cadangan devisa USD 117 miliar dan rendahnya rasio utang terhadap PDB, Indonesia masih cukup kuat untuk menahan pelemahan nilai tukar.
Analisis Nomura didasarkan pada model peringatan awal krisis yang dinamakan Damocles. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi krisis nilai tukar di 30 negara berkembang. Model tersebut memeriksa sejumlah faktor, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan impor.
Nomura pun menyebut tujuh negara yang memperoleh nilai lebih dari 100, yaitu Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki dan Ukraina. Sri Lanka memperoleh nilai tertinggi 175, sehingga dianggap paling berisiko terpapar krisis.
Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, A. Tony Prasetiantono menjelaskan bahwa hasil analisis ini tak lepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam hal ini, policy mix, yaitu kombinasi kebijakan moneter dan fiskal. Tetapi proyek infrastruktur tetap menjadi panglima seperti yang diakui semua pihak.
Selain kebijakan Jokowi di ranah moneter dan fiskal, terdapat dua faktor positif yang mendukung analisis Nomura. Pertama, banyaknya proyek infrastruktur strategis yang menjadi daya tarik investor asing untuk menanamkan modal ke Indonesia.
“Tidak hanya strategis, proyek-proyek infrastruktur tersebut menjadi daya tarik karena efisien dan daya saingnya meningkat drastis. Ini yang membuat investor asing terkesan,” ujarnya.
Kedua, kondisi sektor perbankan yang baik. Saat ini Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perbankan berada di angka 22 persen. Hal itu menjadi garansi tidak akan terjadi krisis ekonomi yang berasal dari sektor perbankan, seperti terjadi pada krisis 1998.
“Bank masih bisa memberikan kredit (lending) dengan ekspansi 9 sampai 10 persen. Suatu hal yang tidak terjadi pada krisis 1998 lalu,” kata Tony. (RN/MCF)
No comments:
Post a Comment