Ilustrasi
Sumber
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/28/18000021/pilkada-2018-pilpres-2019-dan-demokrasi-indonesia.
PESTA demokrasi di
Indonesia kembali digelar di tahun 2018. Sebanyak 171 daerah bakal menggelar
pemilihan kepada daerah secara langsung dan serentak di tahun ini.
Pasangan calon gubernur-wakil gubenur, wali
kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati yang bakal mengikuti kontestasi
pun telah ditetapkan oleh KPUD di setiap daerah di pertengahan Februari 2018.
Bagi partai politik, perhelatan Pilkada 2018
ini bernilai sangat strategis. Ada tiga faktor penyebabnya, yaitu jumlah,
populasi, dan waktu. Pertama, tercatat 17 provinsi dan 154 kota atau kabupaten
bakal menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2018. Dari segi
jumlah, ini menjadi yang terbesar dibandingkan dengan pilkada pada 2015 dan
2017.
Kedua, dari segi populasi, total pemilih yang
bakal mengikuti pemilihan kepala daerah tahun 2018 merupakan yang terbanyak
dibandingkan tahun 2015 dan 2017. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Republik Indonesia, pada Pemilu 2014, pemilih di 17 provinsi yang bakal
menggelar Pilkada 2018 mencapai angka 146,5 juta orang atau 77 persen dari
190,3 juta pemilih.
Untuk pemilihan kepala daerah pada tahun 2018,
KPU memprediksi jumlah pemilih di 17 provinsi tersebut mendekati 160 juta
suara. Ketiga, waktu pelaksanaan Pilkada 2018 sangat dekat dengan masa
pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif periode
2019-2024.
Pemungutan suara untuk Pilkada 2018 berlangsung
pada 27 Juni 2018. Masa pendaftaran calon legislatif digelar kurang dari dua
minggu setelahnya. Adapun masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil
presiden periode 2019-2024 bakal dilakukan kurang dari dua bulan setelahnya,
yaitu pada awal Agustus 2018.
Kedekatan periode waktu ini membuat hasil
Pilkada 2018 sedikit banyak bakal berpengaruh terhadap kontestasi di pemilihan
presiden 2019. Bahkan bisa dikatakan, pilkada serentak 2018 ini bukan sekadar
memilih gubernur dan wali kota/bupati. Pilkada 2018 bisa dianggap sebagai babak
kualifikasi untuk penentuan calon presiden dan calon wakil presiden Republik
Indonesia periode 2019-2024.
Mesin partai Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setiap partai politik peserta pemilu harus
memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara
sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR
RI.
Ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan
Pemilu 2014 (3,5 persen) dan Pemilu 2009 (2,5 persen). Faktor risiko bagi
setiap parpol peserta pemilu pun menjadi meningkat dengan naiknya ambang batas
ini. Belum lagi jika mengingat fakta munculnya empat parpol baru peserta Pemilu
2019. Semakin banyak peserta pemilu, berarti semakin banyak pesaing dalam
memikat hati rakyat di tahun 2019.
Dibandingkan Pemilu 2014, peningkatan jumlah
"kue" suara rakyat yang dibagi tidak signifikan, namun bertambahnya
jumlah partai pesaing mencapai 40 persen.
Kondisi ini membuat persaingan pun semakin
ketat. Dengan situasi seperti ini, momen Pilkada 2018 menjadi semakin penting.
Parpol bakal menggunakannya untuk "memanaskan" mesin parpolnya.
Mengetes seberapa jauh kekuatan dan ketahanan saat ini. Jika mengusung calon
kepala daerah dari kader partai sendiri, keberhasilan kader partai terpilih
sebagai kepala daerah di Pilkada 2018 ini menunjukkan mesin partai di daerah
tersebut bisa diandalkan.
Apalagi jika kader partai yang terpilih bukan
tokoh terpopuler ataupun memiliki elektabilitas tertinggi. Jika memang tokoh
yang diusungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah, momen seperti ini
berharga untuk mengevaluasi critical point yang perlu diperbaiki. Jadi, ketika
Pileg dan Pilpres 2019, kesalahan yang sama tidak lagi terjadi.
Parpol lama tentunya berharap bakal bisa
memperlebar gap dengan parpol baru, sedangkan parpol baru berharap bisa
mendulang kesuksesan di 2019 dengan belajar memanaskan mesin partai di Pilkada
2018 ini.
Success rate tinggi di Pilkada 2018 yang diikuti
hampir 80 persen pemilih, bakal memunculkan kepercayaan diri bagi setiap parpol
yang terlibat di dalamnya. Mereka pun bakal bisa menakar, sejauh mana kekuatan
dan ketahanan mesin partai mereka, dalam mengarungi pertarungan di Pileg dan
Pilpres 2019. Dan, seberapa tinggi daya tawar mereka dalam berkoalisi dengan
partai lain dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden.
Juru kampanye Penggunaan juru kampanye selama
ini dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam membantu menarik perhatian
pemilih ke partai politik pengusung ataupun calon kepala daerah. Disadari atau
tidak, pesan yang disampaikan oleh sumber yang menarik, akan mendapatkan
perhatian besar, di samping sangat mudah untuk diingat (Royan, 2005). Di
sinilah juru kampanye berperan.
Sumber
No comments:
Post a Comment