Jakarta - Pada Senin 27 September 2018, aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, mendadak riuh. Pemicunya, pernyataan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang berapi-api menyebut "ramalan" Indonesia bubar 2030.
Mantan Panglima Kostrad itu hadir dalam bedah buku Nasionalisme, Sosialisme, dan Pragmatisme. Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo. Sebagai orang yang besar di dunia militer, Prabowo harus berbicara soal ekonomi di hadapan para profesor dan pengamat ekonomi kenamaan, antara lain Emil Salim, Dorodjatun Kuntjorojakti, Miranda Goeltom, dan Faisal Basri.
Rupanya tidak hanya sekali. Pernyataan serupa juga disampaikan Prabowo dalam sebuah pidato politik yang diunggah akun resmi Facebook Partai Gerindra. Untuk yang ini, pernyataan tersebut mendadak jadi buah bibir di masyarakat. Geger pun terjadi.
Prabowo mengakui bahwa ia mengutip sebuah karya fiksi ilmiah novel fiksi Ghost Fleet: a Novel of The Next World War, karya pengamat militer, Peter W. Singer dan August Cole sebagai dasar "ramalannya".
"Itu ada tulisan dari luar negeri. Banyak pembicaraan seperti itu di luar negeri. Begini ya, jadi di luar negeri ada namanya scenario writing. Memang bentuknya mungkin novel, tapi yang nulis adalah ahli ahli intelijen strategis, you buka dong. You buka, baca, belum kan?," ujar Prabowo saat ditemui di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Kamis 22 Maret 2018.
Ghost Fleet merupakan karya fiksi ilmiah yang mengulas isu perang masa depan, termasuk kemungkinan Perang Dunia III. Telaah dalam novel tersebut disusun melalui hasil pengamatan dinamika politik, persaingan teknologi, serta isu spionase di antara ketiga negara, Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Sang penulis tidak lagi menyebut perang sebagai perebutan wilayah ataupun penguasaan sumber daya, sebagaimana yang kerap terjadi pada pertempuran-pertempuran besar sebelumnya.
Singer, dilansir dari San Diego Union Tribune, menyebut "Perang akan berubah menjadi perebutan pengaruh yang melemahkan siapa pun yang tidak sigap memantaunya."
Benarkah negeri kita sedemikian genting dan terancam bubar seperti kata Prabowo?
Ketua Pusat Studi dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran, Muradi, punya pendapat berbeda dengan Prabowo.
Sebab, jauh panggang dari api, apa yang terjadi di Yugoslavia (Yugoslovakia) dan Uni Soviet -- seperti yang sekilas disebut dalam Ghost Fleet --jauh dengan kondisi yang dihadapi Indonesia.
Muradi menyebut, kegagalan Uni Soviet dan Yugoslovakia lebih disebabkan ancaman dari luar.
"Kalau mengancam (Indonesia) dari luar siapa? Enggak ada kan," kata Muradi kepada Liputan6.com, Jumat (23/3/2018).
Justru, kata Muradi, ancaman yang terjadi di Indonesia justru berasal dari dalam, misalnya isu sentimen SARA (suku agama ras antar golongan). Dia menyebut apa yang disampaikan Prabowo hanya sebatas propaganda untuk menaikan popularitas.
"Di luar itu enggak ada, apa yang dikatakan Pak Prabowo ini, bahasa kasarnya, ilusi politik," kata Muradi soal isu Indonesia bubar 2030.
Nada optimis juga disampaikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Keduanya menepis ramalan Indonesia bubar 2030.
"Indonesia itu negara yang beriman dan bertakwa. Dalam Alquran disebutkan, bangsa yang beriman dan bertakwa akan tetap ada," tutur Said Aqil di lokasi, Jumat (23/3/2018).
Menurut Said Aqil, kesatuan bangsa bukan hanya soal geografinya saja, tapi yang paling penting adalah keutuhan budaya. Itulah maksud dari Islam Nusantara yang dibumikan NU.
"Tentang eksistensi dan masa depan Indonesia, kita harus punya optimisme bahwa Indonesia akan tetap utuh, dan Allah akan tetap merahmati hingga yaumil akhir," kata Haedar di tempat sama.
Prediksi Optimistis Lembaga Global
Sejauh ini belum ada data sahih yang mendukung klaim Prabowo soal Indonesia bakal bubar pada 2030.
Bahkan, lembaga nirlaba internasional yang berbasis di Amerika Serikat, Fund for Peace (FFP) yang rajin mengeluarkan hasil riset mengenai pertumbuhan ekonomi dan politik di 178 negara, mengakui kemajuan Indonesia dalam dekade terakhir.
Hasil riset FFP terbaru, pada tahun 2017 terjadi perbaikan indeks kerapuhan negara (fragile state index) Indonesia dari 74,9 menjadi 72,9. Indonesia ada di urutan 94 dari 178 negara.
FFP menyebut, Indonesia pada dekade terakhir ini merangkak stabil, yang didorong pembangunan ekonomi dan peningkatan stabilitas politik, serta keamanan. "Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia adalah negara paling maju ke-9, didorong oleh pembangunan ekonomi dan peningkatan stabilitas politik," tulis FFP.
Pada periode yang sama, pelantikan Indonesia sebagai anggota G20 pada tahun 2008, menjadi bukti pengaruh negara yang semakin meningkat dalam ekonomi global.
Hal ini sejalan dengan hasil riset perusahaan jasa keuangan dunia, PricewaterhouseCoopers (PwC), yang baru saja mengeluarkan laporan mengenai daftar negara memiliki perekonomian terbesar di dunia hingga 2050.
Laporan berjudul, The Long View: How Will The Global Economic Order Change by 2050? tersebut mengukur kemajuan ekonomi 32 negara melalui prediksi PDB berdasarkan paritas daya beli (PPP).
Biasanya paritas daya beli digunakan ahli makroekonomi untuk menentukan produktivitas ekonomi dan standar hidup di antara negara-negara di seluruh dunia dalam jangka waktu tertentu.
Laporan itu menyebutkan, perekonomian Indonesia dan negara berkembang yang tergabung dalam Emerging 7 (E7) akan jadi motor penggerak ekonomi global. Ekonomi negara E7 akan mampu tumbuh rata-rata 3,5 persen selama 34 tahun mendatang.
Angka ini lebih besar dibanding perekonomian negara maju yang hanya tumbuh 1,6 persen selama lebih dari 30 tahun mendatang.
"Diproyeksikan enam dari tujuh ekonomi terbesar dunia pada tahun 2050 berasal dari negara berkembang yang dipimpin oleh China di puncak, India nomor dua, Indonesia nomor empat," ungkap Kepala Ekonom PwC John Hawksworth.
PWC membagi laporan ini dalam jangka menengah yaitu pada 2030 dan jangka panjang 2050.
Dalam jangka menengah, ekonomi Indonesia diramalkan bisa menduduki peringkat kelima di dunia pada 2030, dengan besaran PDB Indonesia akan berada di angka US$ 5,424 triliun.
Namun, lain hal dengan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.
Ia menyoroti soal laporan riset Credit Suisse, 1 persen orang terkaya dalam negeri menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, sehingga membuat Indonesia jadi negara nomor empat paling timpang di dunia.
Mengutip data data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013, dia menyampaikan gini rasio lahan juga cukup tinggi, yakni dikisaran 0,68. Angka tersebut lebih tinggi dari gini rasio ketimpangan yang 0,39. "Artinya, ketimpangan lahan memang sudah parah," kata dia.
Meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, Bhima tak sepakat jika dikatakan Indonesia terancam bubar pada 2030.
Kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi akibat ketimpangan adalah gejolak sosial, adanya potensi konflik horizontal dan vertikal.
"Tapi chaos belum tentu bubar. Kita pas 1998 kerusuhan, tapi setelah itu pemerintahan bisa tegak kembali. Enggak sampai failed state," tutur dia.
Tidak Perlu Khawatir
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Johnny Darmawan, mengatakan sah-sah saja jika ada pihak yang mengeluarkan prediksi terkait kondisi Indonesia ke depan. Namun, hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
"Kita lihat itu asumsinya apa. Jadi, menurut saya boleh-boleh saja orang meramal itu, tapi kalau menurut saya itu tidak mungkin terjadi karena begitu akan ke arah sana, pasti ada tindakan-tindakan. Seperti di perusahaan, pengusahanya pasti akan melakukan supaya perusahaannya tidak bangkrut," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Para pengusaha dan investor juga diyakini tidak akan terganggu dengan pernyataan ini. Menurut dia, pengusaha lebih percaya terhadap ekonomi nasional dan upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi di dalam negeri.
"Pengusaha tidak takut dengan hal semacam itu, karena kita percaya Indonesia kaya dan pengusaha hanya konsentrasi ke usahanya. Perusahaan harus jalan terus. Jadi, tidak ada kekhawatiran. Tidak akan berdampak ke kepercayaan investor," kata dia.
Ditemui terpisah, Wakapolri Komjen Syafruddin tak berkomentar banyak soal pernyataan Prabowo. Dia menyatakan bahwa Polri akan terus menjaga stabilitas keamanan negara, apapun yang terjadi.
"No comment, hahaha... Polri menjaga stabilitas negara," ujar Syafruddin sambil tertawa saat ditemui usai Salat Jumat di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (23/3/2018).
Jenderal bintang tiga itu mengaku tak percaya terhadap ramalan yang menyebut Indonesia bakal bubar pada 2030. Dia yakin Indonesia akan tetap ada hingga akhir zaman.
"(Optimistis) sampai kiamat lah... hahaha," ucap Syafruddin.
Sumber : http://news.liputan6.com/read/3400514/headline-indonesia-bubar-2030-realistis-atau-fiksi-belaka
No comments:
Post a Comment