Nama-nama bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Bima yang terbanyak mendaftar di Parpol, ternyata hanya dijumpai lima figur saja, yaitu; HM. Lutfi, H. Arrahman, Hj. Fera, Ir. H. Sutarman, dan Nasaruddin Ibrahim (Dirilis oleh Obor Bima.com), Bahkan ada beberapa media yang melakukan survei calon Wali Kota Bima hanya kepada dua pasang calon saja, H. Arahman – Hj. Ferra dan HM Lutfi – Feri Sofian sementara untuk nama-nama lain, selain dari beberapa nama yang sudah sangat familier dalam kancah perpolitikan Kota Bima.
Mencermati dinamika politik menuju Pemilukada Kota Bima juni 2018, secara umum Partai Politik masih keberatan melakukan reformasi secara internal. Para pendiri dan pemilik modal yang menjadi politisi masih menguasai pusat lingkaran partai dan memperlambat kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan. Posisi partai politik sebagai pintu utama, jika tidak boleh disebut satu-satunya pintu, bagi seseorang untuk mencapai kekuasaan. Mereka melek pada figur yang mempunyai dana serta kibaran popularitas dan buta terhadap tokoh yang mempunyai kebajikan dan cita-cita politik. Akibatnya, secara prediktif bisa dikalkulasi, progresifitas Kota Bima terstagnanisasi, bahkan akan merosot. Ini mirip dengan kondisi parpol yang gagal menjadi penyalur aspirasi bagi rakyat akibat keengganan elitenya melakukan kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan. Karakter jumud parpol ditambah dengan kecenderungannya yang mudah lupa terhadap perjuangan ideologis menjadi penyebab utama miskinnya pilihan figur untuk menjadi kandidat pada pemilukada nanti.
Begitu memprihatinkannya situasi politik Kota Bima dewasa ini bisa dilihat dari prilaku politik para politisi dan partai politik pada umumnya. pergerakan yang dilakukan mereka masih melingkar pada aras dan arah sama. Mirip dengan atraksi motor setan di pasar malam. bagi mereka, partai politik mungkin hanya dianggap sebagai mesin yang mampu menyediakan privelese ekonomi dan politik. Partai tidak dilihat sebagai pusat gerakan hakiki dan pusaran energi demi tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat. Akibatnya, sikap partai untuk secara tegas mengibarkan bendera oposisi pun melempem seperti kerupuk kampung kena angin. Ini menegaskan bahwa konstelasi politik yang ada sebenarnya semu karena sarat dengan praktek politik dagang sapi yang diwarnai oleh tiga gejala. Pertama, terjadinya kehancuran kekuatan ideologi digantikan oleh hegemoni kapital, kini sulit mencari politisi yang pilihan politik dan garis perjuangannya atas nama ideologi karena dibelakang semua manuver politik dan upaya mendapatkan kekuasaan, dari ketua umum partai politik, kepala daerah, anggota dewan selalu diselimuti oleh mode of capital berupa kekuatan uang. kedua, melemahnya daya gempur partai politik digantikan oleh pesona figur. Tidak mengherankan apabila semua partai akhirnya mengandalkan survei popularitas tokoh dalam kontestasi perebutan jabatan politik. Hal ini merontokan keperkasaan jaringan dan infrastruktur partai sekaligus mengonfirmasi perpolitikan yang lebih bergantug pada kekuatan tokoh daripada institusi. Ketiga, propaganda digantikan oleh pemasaran politik. propaganda sebagai pengikat utopian bersama, mulai dari slogan pembangunan, kebangsaan, sampai kerja lapangan berupa sosialisasi ideologi dan pemberdayaan struktur basis, tak lagi mempunyai daya pengaruh. Semua digantikan daya pikat “budaya tinggi industrialisasi:, yakni pemasaran politik, kemasan, bedak, dan celoteh budaya pop instan telah merebut ruang sosial. praktik politik akhirnya menjadi instan.
Partai Politik mengawal kemurnian dan independensi dalam berpolitik. Dengan mengabdi kepada rakyat tanpa pamrih, bangunan politik yang disiapkan partai niscaya akan menjadi rumah politik yang selalu ramai dikunjungi rakyat. cita-cita dan gagasan partai akan disambut gembira oleh publik karena tidak berjarak dengan kepentingan mereka, namun sebagian besar dari isi perut demokrasi di Kota Bima. Para politisi, terutama petualang politik, berani melakukan apa saja. Main politik uang, pencitraan, intimidasi, bahkan fitnah yang merendahkan derajat dan martabat pesaingnya sehingga opini publik dikendalikan demi mencapai kepentingan.
Konsekuensi logis dalam dunia politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka fitnah dan beragam manuver isu ikut digerakan, salah satunya dapat dijadikan sebagai hipotesis polemik yang dialami oleh bakal calon kandidat Pemilukada Kota Bima, Hj. Fera Amelia yang diyakini oleh beberapa kalangan (klik-klik) sebagai dalang dari kasus korupsi lima unit sampan fiberglass tahun 2012 di Kabupaten Bima yang menghabiskan anggaran satu milyar rupiah. Hal ini, berdasarkan teori konspirasi “kebohongan yang terus dikobarkan, lama-kelamaan akan menjadi diterima umum menjadi suatu kebenaran yang menghancurkan” dapat diasumsikan sebagai bentuk skenario pemain di kubu lain untuk menyerang pertahananan barisan saingan politiknya. Apalagi menjelang pemilukada pasti akan dibuat-buat dan dicari-cari sekecil apapun kesalahan para pesaingnya meski ke dalam jerami sekalipun demi menghancurkan citra dan repotasinya dimata publik sehingga terjadi depresiasi pada elektabilitas calon.
Berkembang opini di kalangan awam bahwa Pemilukada Kota Bima juni 2018 akan muncul dua kubu yang saling bersaing, yaitu Kubu H. Arahman – Hj. Fera “Tokoh-Tokoh Tua” melawan Kubu HM Lutfi – Ferri Sofyan “Tokoh-Tokoh Muda” yang bibit persaingannya telah konsepsikan bahkan diaplikasikan jauh hari sebelum pemilukada dilangsungkan, munculnya polemik diatas (dugaan korupsi) dapat menjadi preposisi dalama melihat panasnya persaingan diantara keduanya. Merujuk pada teori dan praksis pergerakan, jika ideologi dan ide perubahan mati, maka hanya ada dua agen yang bisa membalik sejarah dan membunuh citra (popularitas), yaitu tokoh muda yang berkarakter dan figur kharismatik. salah satu dari merekalah yang bisa menggerakan alam bawah sadar rakyat. tapi figur itu seharusnya tidak berasal dari lingkaran dalam koalisi.
Pemilukada Kota Bima Priode 2018-2023 sudah semakin mendekat, nama-nama yang membuming dikalangan masyarakat (bukan dari media peny,), merupakan tokoh-tokoh yang dari tahun sbelumnya dapat dijadikan preseden bahwa mereka selalu bertekad kuat untuk berkontestasi nama-namanya antara lain; H. Arahman “Demokrat” sudah mendeklarasikan diri untuk maju begitu pun dengan Hj. Ferra “Golkar” lalu HM Lutfi “Golkar” kemudian Feri Sofyan “PAN”, namun diantara Hj. Fera dan Lutfi mengalami suatu dilematis mengenai siapakah yang benar-benar didukung penul oleh Golkar. Kembali berdasarkan teori causalitas tiada sebab-akibat selalu berkaitan dan tiada akibat tanpa sebab apalagi ini adalah dunia politik, pasti sekelumit polemik yang dirasakan Hj. Fera dan HM Lutfi belakangan ini baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat atau sengaja di kamuflase terdapat hubungannya dengan perebutan dukungan dari partai golkar. Aksi Demonstrasi yang ditujukan kepada Hj. Ferra oleh beberapa elemen masyarakat dengan harapan terbentuknya opini publik atas dugaan korupsi kepada Hj. Fera notabene ada hubungannya dengan Prima Causa (persaingan untuk mendapat dukungan partai golkar Peny.).
Dunia politik selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan, karena di dalamnya tidak ada yang tidak mungkin terjadi karena ketidakmungkinan ada didalam kemungkinan itu sendiri. Apa lagi persoalan ini adalah timbulnya dikalangan elitis yang punya kekuatan, jaringan dan backing-an kuat (Bukan saya bertendensi dan mengagungkan Hj. Fera. Di sini saya bersikap independen karena independensi adalah keberpihakan kepada kebenaran, bukan hal-hal yang profan Peny.). Di luar urusan pemilukada tersebut, secara hipotesis, rakyat sendiri juga tampaknya sudah lelah dengan segala hiruk-pikuk politik dan segala ketidakpastian hidup, dalam kondisi seperti itu, maka akan mudah didorong merajut optimisme menghadapi masa depan dengan cara mewujudkan stabilitas politik “kompetisi yang sehat terbebas dari klik-klik politik pesakitan”. Mengutip buku Sukardi Rinakit “Memompa Ban Kempis”. Dalam perspektif budaya politik, sekurang-kurangnya ada tiga syarat agar stabilitas politik terwujud, yaitu ladang penuh rumput (apabila kosong otomatis ternak akan meninggalkannya), sungai tidak kering (apabila kering, burung kuntul akan terbang ketempat lain), dan penguasa tidak sibuk dengan citra diri (bila pencitraan dan saling menjatuhkan, pelan-pelan rakyat Kota Bima akan pergi, sehingga ujungnya ditinggal sendirian).
Di arena politik, institusi yang paling layak dimudikan adalah partai politik. Karena pilar demokrasi yang satu ini sudah beranomali terlalu jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, sehingga membuat demokrasi menjadi rapuh, biasanya karena jebakan oligarki. Para elit partai membajaknya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Partai politik disabotase para elitnya untuk kepentingan uang dan kekuasaan yang kemudian bersinergi memperburuk citra partai politik. Orang yang berambisi meraih kekuasaan membeli partai-partai, sedangkan elit partai yang rakus uang menjual partai-partai dengan harga sesuai keinginannya atau dengan dil-dil-an (serupa simbiosis mutualisme para binatang). Selain itu, pragmatisme juga ikut membuat derajat partai terpuruk. benar bahwa partai politik didirikan untuk meraih kekuasaan, tapi prinsip moral yang inheren pada ideologi partai harus tetap dipertahankan. Pada saat terjadi kontradiksi antara kepentingan dan prinsip moral seyogyanya prinsip moral-lah yang diutamakan. Sebagai pilar demokrasi, partai politik, yang ditopang oleh kedaulatan rakyat sewajarnya harus dikembalikan untuk rakyat, maka fungsi partai politik mesti integral dengan fungsi demokrasi, yanng menurut Robert Dahl meliputi: Menghindari tirani, Menghormati dan menjunjung tinggi HAM, menjamin kebebasan umum, penentuan nasib sendiri, menjaga kepentingan pribadi, otonomi moral, perdamaian, kemakmuran, dan untuk memupuk demokrasi diperlukan rasa saling percaya alih-alih saling mencibir, menyinggung dan menjatuhkan satu sama lain atas dasar surplusnya syahwat kekuasaan.
Sumber : https://hariannusa.com/2017/12/28/menuju-pemilukada-kota-bima-2018-situasi-reduksi-fungsi-demokrasi/
No comments:
Post a Comment