Awal bulan ini tahapan Pilkada di 170 daerah Indonesia dimulai. Enam bulan ke depan, tepatnya Juni 2018 dilakukan pemungutan suara. Salah satu daerah yang akan mengadakan Pilkada pada Tahun 2018 adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang meliputi: Pemilihan Gubernur NTB, Pemilihan Bupati Lombok Timur, Pemilihan Bupati Lombok Barat dan Pemilihan Walikota Bima.
Dari seluruh tahapan proses Pilkada tersebut, banyak kalangan menduga berpotensi besar akan adanya isu SARA yang bernuansa Hate Speech melalui Media Sosial seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Hate Speech atau ujaran kebencian menjadi ancaman yang cukup serius bagi masyarakat, mengingat keterbukaan informasi yang semakin mudah dan mental masyarakat Indonesia yang sangat cepat terpengaruh akan isu-isu negatif yang belum pasti kebenarannya sehingga tidak jarang mengakibatkan perpecahan dan terjadinya kekerasan pada masyarakat.
Tidak jarang para aktor politik dalam Pilkada Provinsi Nusa Tenggara Barat melakukan kampanye dan sosialisasi politik melalui media sosial seperti Facebook yang merupakan salah satu media sosial yang paling banyak diminati dan mudah diakses oleh masyarakat. Dalam beberapa bulan terakhir, tidak jarang kita temukan beberapa akun Facebook yang mengatasnamakan pasangan calon gubernur atau bupati dan melakukan kampanye melalui Facebook. Selain akun-akun baru tersebut, muncul juga fenomena grup-grup diskusi publik di facebook tempat para simpatisan calon untuk mengkampanyekan calon mereka masing-masing.
Dalam perspektif sosiologi komunikasi seperti apa yang dikemukakan di atas merupakan suatu fenomena sosial. Fenomena media dan pola perilaku interaksi dunia maya masyarakat media memerankan peran vital dalam tahapan sosialisasi politik, langkah-langkah praktis kontestasi politik di era digitalisasi dewasa ini senyatanya menjadikan media sebagai instrumen absurd untuk tidak mengatakan kambing hitam agitasi masyarakat yang paling mutakhir dan mematikan.
Argumentasi penulis didasarkan atas realitas yang berkembang saat ini, menilik tahun politik NTB 2018 yang akan datang mengenai fokus tulisan ini, dapat kita lihat dalam beberapa grup diskusi di laman Facebook yang dalam perkembangannya, kadangkala memuat berbagai postingan dalam grup yang mengandung muatan Hate Speech atau ujaran kebencian terhadap paslon tertentu yang dapat mengundang reaksi yang berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya konflik isu antar simpatisan calon. Tidak jarang diskursus-diskursus sesat tersebut cenderung sangat tendensius, sentimentil dan propaganda. Untuk tidak menyebut salah satu grup Facebook diskusi mengenai kontestasi politik NTB 2018, terdapat salah satu grup diskusi yang hampir memiliki members 60 ribu orang. Secara kuantitas jumlah 60 ribu orang memuat konsekuensi logis akan terjadinya misinterpretasi tentang suatu muatan pemberitaan dan secara logis pula jumlah 60 ribu orang tersebut akan mentransmisikan diskursus dangkalnya kepada kerabat terdekat yang awam secara pemahaman politik, akhirnya muncullah efek domino yang mengakibtkan streotip, skeptif dan distrust yang mengancam kualitas politik NTB.
Dari beberapa postingan yang penulis amati di grup tersebut, terdapat tulisan berupa komentar-komentar yang mengandung Hate Speech atau ujaran kebencian terhadap salah satu paslon dan partai pengusungnya yang tentu saja dapat mengakibatkan berkembangnya isu-isu sentral lain. Grup diskusi yang semulanya bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dalam proses Pilkada malah sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dalam melakukan upaya downgrade terhadap paslon lain yang tidak jarang juga bermuatan SARA. Padahal dalam Hukum jelas, penyebaran isu dan ujaran kebencian tersebut merupakan tindakan yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Selain melanggar hukum, penyebaran isu tersebut juga berdampak pada meningkatnya ekskalasi politik, bahkan bisa memicu terjadinya konflik.
Cukuplah menjadi pembelajaran dan introspeksi kita bersama warga Gumi Gora, yaitu kontestasi Pilkada Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017 yang lalu, sebuah kontestasi politik, walau tidak melabrak prinsip politik, untuk tidak menyebutnya sebagai kontestasi kotor, merupakan kontestasi yang jauh dari gambaran kualitas masyarakat ibu kota yang rasional, kritis, egaliter, moderat dan dewasa dalam bersikap, utamanya dalam sikap dan pilihan politik. Sejarah telah mencatat jika kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 dan ataupun Pilpres 2014 silam dibumbui dengan Hate Speech bernuansa SARA yang kental, sehingga membawa dinamika fenomena politik nasional yang memilukan, membuat stagnansi pendidikan politik serta mendegradasikan kualitas budaya politik bangsa Indonesia yang telah lama di rajud dalam bingkai moderatisme keindonesiaan.
Masyarakat NTB berkaca dari Pilkada DKI 2017 silam, haruslah menjadi hakim yang baik, sekaligus menjadi penuntut yang jeli dalam mengawasi gerak-gerik aktor-aktor politik NTB agar kiranya tidak mengkomodifikasi unsur SARA dan menkomoditasikan muatan Hate Speech sebagai substansi “kampanye” murahan, guna mengkultuskan niatan jahatnya untuk men-downgrade (menjatuhkan) salah satu pasangan calon tertentu, serta partai pengusungnya berdasar tendensi-tendensi sentimentil ideologi dan ataupun latar belakang SARA tertentu.
Apabila kita selaku masyarakat NTB membiarkan tindakan-tindakan yang mencederai nilai moral hukum, politik terlebih demokratisasi, maka secara moral politik kita akan menanggung dosa besar, yang akan menjadi beban dalam pembangunan daerah yang kita cintai ini di masa yang akan datang. Modal sosial dalam pembangunan semestinyalah harus kita rawat dengan semagat egalitarisme, kebebasan, keadilan, kesetaraan serta persamaan hak dan kewajiban dalam seluruh akses publik tanpa ada deskreditasi, ekslusivitas dan privatisasi antar anak bangsa yang hidup, tumbuh dan kembang ditanah air yang sama.
Menyikapi hal itu, terdapat beberapa langkah yang sejatinya dilakukan oleh pihak terkait utamanya masyarakat NTB, yakni sebagai berikut :
- Pemerintah
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat harus bersinergi dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang merupakan lembaga yang berkewajiban untuk menjamin kelancaran jalannya proses Pilkada di NTB. Kedua lembaga ini harus mampu membentuk dan menguatkan regulasi dan payung hukum (perdata dan pidana) yang mengatur tentang masa awal mulai peragaan dan kampanye. Sehingga para simpatisan pendukung pasangan calon tidak melakukan aktivitas-aktivitas politik praktis yang membahayakan kondusifitas sosial masyarakat
- Pihak keamanan dan peradilan
Dalam hal ini adalah Kepolisian Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) harus Membentuk satuan cyber crime yang khusus melacak dan menagani konten ujaran kebencian, serta dalam penanganannya harus tegas tidak berlarut, melainkan langsung diproses berdasar hukum dengan cepat, apabila tindakan tersebut mengandung substansi pelanggaran hukum yang telah diatur, guna memberikan efek jera terhadapa masyarakat luas
- Masyarakat sebagai pemilih
Meningkatkan kepekaan dan kedewasaan untuk menyerap konten berita informasi di media massa secara selektif, serta tidak mewacanakan apa yang ditangkap di media massa dalam interaksi sosial secara mentah dan frontal, guna menjaga tendensi masyarakat untuk tidak tersulut melakukan tindakan-tindakan yang mencederai hukum dalam makna demokrasi itu sendiri.
Dengan melakukan ketiga pendekatan tersebut, penulis meyakini jika pelaksanaan prosesi Pilkada NTB 2018 yang akan datang akan berjalan baik, aman dan damai, karena ancaman pontensi terjadinya perilaku konflik terminimlaisir oleh managemen konflik yang dirumuskan dari kolektivitas unsur yang sinergis di tengah masyarakat.
Sumber : https://hariannusa.com/2018/01/14/hate-speech-uji-rintang-kualitas-pilkada-ntb-2018/
No comments:
Post a Comment